Selasa, Oktober 19, 2010

PROSES PENEMUAN HUKUM

Bahwasanya Penemuan hukum dimana terdapat peristiwa dan tidak ditemukan aturan secara tertulis dalam suatu perundang–undangan maka diberikan kewenangan kepada Hakim dalam meberikan penafsiran.
I. Jenis-Jenis Interpretasi Hukum
Jenis –jenis interpretasi hukum menurut Achad Ali (2002:163-176) yang sering digunakan yakni :

1. Interpretasi dengan metode Subtantif
Metode subtantif adalah dimana hukum harus menerapkan suatu teks undangn–undang terhadap kasus In-konkreto dengan belum memasuki taraf penggunaan penalaran yang lebih rumit, tetapi sekedar menerapkan sillogisme.
Contoh : Pasal 378; “ barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan memakai nama palsu, dengan tipu muslihat, ataupun rangkaian kebohongan, menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya, atau supaya memberi hutang maupun penghapusan piutang diancam karena penipuan dengan pidana penjara paling lama empat tahun.”
Unsur daripada penipuan adalah :
a. dengan maksud untuk menguntungkan diri dengan melawan hukum;
b. menggerakkan orang untuk menyerahkan barang sesuatu;
c. dengan menggunakan salah satu upaya penipuan.
Maksud penipuan tidak ada, atau tidak dijelaskan.

2. Interpretasi Gramatikal
Menurut Achad ali (2002:166) interpretasi Grametikal adalah menafsirkan kata – kata dalam undang –undang sesuai dengan kaidah bahasa. Sedangkan menurut Pitlo (Achmat Ali, 2002:166) interpretasi gramatikal adalah kita mencoba menangkanp arti sesuatu teks menurut bunyi kata-katanya, ini dapat terbatas pada suatu yang otomatis, yang tidak disadari, yang kita lakukan pada saat membaca.
Contoh : Pasal 372 “barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum memiliki barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagaian adalah kepunyaan orang lain, tetapi yang ada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan diancam karena penggelapan, dengan pidana paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah.”
Perkataan “memiliki dan “Menggelapkan” dalam pasal 372 tidak selalu mengandung sifat bermanfaat bagi diri peribadi. Dan Pasal 372 KUHP perbuatan terdakwa tidak merupakan penggelapan akan tetapi suatu kasus perdata.

3. interpretasi Historis
Menurut Achad Ali (2002:169) interpretasi historis adalah terdiri atas dua jenis, yaitu: interpretasi menurut sejarah undang –undang dan interpretasi menurut sejarah hukum.
Dalam interpretasi undang – undang hanya dapat diketahui dari orang yang terlibat dalam proses penggodokan suatu perundang –undangan, jadi metode ini adalah kehendak pembuat undang-undang yang dianggap menentukan. Yang dibuktikan dengan beberapa surat-surat dalam pembahasan proses perundang-undangan sampai pada suatu keputusan.
Contoh : undang-undang no. 10 tahun 2004 tentang pembentukan perundang-undangan. Ketika dalam suatu materi undang –undang mebutuhkan interpretasi, maka salah satu metode digunaka adalah metode histroris. Artinya meminta keterangan dari anggota legislatif yang menetapkan atau yang terlibat dalam proses pembentukan undang –undang sampai pada keputusan dalam lembaga legisatif.

4. iterpretasi Sistematis
menurut achad Ali (2002:169) interpretasi sistematis adalah metode yang menafsirkan undang-undang sebagai bagian dari keseluruhan system perundang –undangan. Jadi perundang undangan dianggap sebagai suatu sistem yang utuh.
Contoh : dalam suatu masyarakat mengajukan perkara ke pengadilan maka pihak pengadilan tidak boleh menolak dengan alasan buka wewenang atau tidak ada hukum yang mengaturnya. Sebab undang dianggap sebagai suatu sistem yang utuh, tentu ada aturan dalam perundangn undangan yang mengaturnya.

5. interpretasi Sosiologis dan theologis
Achmad Ali (2002:166) bahwa metode menetapkan makna undang-undang berdasarkan tujuan kemasyarakata. Suatu undang–undang yang masih berlaku tetapi sebenarnya sudah usang dan tidak sesuai lagi dengan kebutuhan zaman. Interpretasi ini berdasarkan hubungan, kebutuhan masa kini, dengan tidak memperdulikan apakah hal itu pada waktu diundangkannya undang-undang itu dikenal atau tidak.
Contoh : Kompilasi Hukum Islam (KHI) merupakan aturan untuk agama Islam pada soal perceraian, pernikahan dan warisan dalam KHI banyak pasal tidak berlaku dalam kondisi sosial sekarang ini; seperti persoalan pembagian warisan 1 : 2 akan tetapi dalam acaara peradilan agama tetap menggunakan 1 untuk perempuan dan 2 untuk laki-laki. Walaupun aturan tersebut masyarakat belum mengetahui dan menyepakatinya.

6. interpretasi komparatif
Menurut Achmad Ali (2002:175) interpretasi ini adalah metode membandingkan antara berbagai sistem hukum. Dengan demikian metode ini hanya terutama digunakan dalam bidang hukum perjanjian internasional.
Contoh: “ perbandingan sistem Hukum antara anglo saxon dan eropa continental.

7. interpretasi futuristis
Menurut Achmad Ali (2002:175), interpretasi ini djelaskan undang-undang yang berlaku sekarang Ius Constitutum, dengan berpedoman pada undang-undang yang belum mempunyai kekuatan hukum ius constitendum
Con toh :

8. interpretasi restriktif
Menurut Achmad Ali (2002:175) interpretasi restriktif adalah metode interpretasi yang sifatnya membatasi. Misalnya secara gramatikan tetangga dalam pasal 666 KUH perdata adalah setiap tetangga termasuk seorang penyewapekarangan sebelanya. Tetapi kalau dibatasi menjadi tidak termasuk tetangga penyewa.
Contoh : pasal 666 KUH Perdata dalah setiap tetangga termasuk seorang penyewa pekarangan sebelanya. Tetapi kalau dibatasi menjadi tidak termasuk tentangga penyewa.

9. interpretasi ekstensif
Menurut Achmad Ali (2002:175) interpretasi ekstensif adalah metode interpretasi yang membuat interpretasi melebihi batas–batas hasil interpretasi garamatikal.
Contoh : Pada pasal 492 KUH Pidana ayat (1) “Barang siapa dalam keadaan mabuk di muka umum merintangi lalu lintas, atau mengganggu ketertiban, atau mengancam keamanan oranglain, atau melakukan sesuatu yang harus dilakukan dengan hati –hati atau dengan mengadakan tindakanpenjagaan tertentu lebih dahulu agar jangan membahayakan nyawa atau kesehatan orang lain, diancam dengan pidana kurungan paling lama enam hari, atau pidana denda paling banyak tiga ratus tujuh puluh lima rupiah.
Kalimat “dimuka Umum” bukan hanya dijalan lalu lintas, atau yang mengganggu ketertiban, atau mengancam keamanan orang lain. Akan tetapi meliputi semua tempat yang etrsedia bagi umum dalam hal ini losmen-losmen dan tempat minum.

II. Jenis Metode Konstruksi
1. Metode Argumentum Per analogis (analogi)
analogi merupakan salah satu jenis kontruksi hukum yang sering digunakan dala perkara perdata, tetapi yang menimbulkan polemik dalam penggunaannya dalam perkara pidana.
Contoh : dalam Pasal 1576 KU.perdata hanya mengatur tentang jual-beli tidak mengatur tentang wakaf maka hakim wajib melakukan penemuan hukum berdasarkan asas ius curia novit. Mencari esensinya peralihan Hak, maka metode ini digunakan penalaran induksi, berfikir dari yang khusus (Species) ke yang umum (Genus)..
2. Metode Argumentum A’Contrario
Menggunakan penalaran bahwa jika undang-undang menetapkan hal-hal tertentu untuk peristiwa tertentu, berarti peraturan itu terbatas pada peristiwa tertentu itu dan bagi peristiwa diluarnya berlaku kebalikannya.
Contoh : pada pasal 53 UU No.10 Thaun 2004 menjelaskan “masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan atau tertulis dalam rangka penetapan maupun pembahasan rancangan undang undang dan rancangan peraturan daerah”. Penjelasan partisipasi tersebut ketika diatur dalam tatib legislatif. Artinya. keterlibatan bukan menjadi suatu kemutlakan kecuali diizinkan dalam atta terti legislatif.
3. Rechtsvervijnings (pengkongkritan hukum) oleh Hakim
Metode pengkongkritan hukum ini bertujuan untuk mengkongkritkan suatu aturan hukum yang terlalu abstrak.
Contoh : pasal 363 (1) KUHP “dengan tuduhan menyuruh melakukan pencurian, orang yang disuruh melakukan harus orang yang tidak dapat ipertanggungjawabkan atas perbuatannya. Artinya bahwa pencurian yang dilakukan oleh dua orang atau lebih secara bersekutu, harus dilakukan secara turut serta melakukan dan bukan secara pembantuan.
4. Fiksi Hukum
Adalah metode penemuan hukum yang mengemukakan fakta-fakta baru kepada kita, sehingga tampil personifikasi baru dihadapi kita (satjipto Raharjo, 1982: 136).
contoh : dengan fiksi bahwa setiap orang dianggap mengetahui hukum yang berlaku sekalipun ia buta huruf atau tidak mengetahuinya sama sekali, berarti ia tetap diatur oleh hukum; contoh Pasal 372 “barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum memiliki barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagaian adalah kepunyaan orang lain, tetapi yang ada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan diancam karena penggelapan, dengan pidana paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah.”
Dalam hal ini seseorang sekalipun tidak pernah mengetahui tentang aturan pasal tersebut, ketika ia melakukannya maka ia dikenakan sanksi. Karena dianggap telah mengetahui aturan yang berlaku. []

sumber : http://patawari.wordpress.com/2009/03/12/proses-penemuan-hukum/

Sabtu, Oktober 16, 2010

BUDAYA POLITIK

A. PENDAHULUAN

Kehidupan manusia di dalam masyarakat, memiliki peranan penting dalam sistem politik suatu negara. Manusia dalam kedudukannya sebagai makhluk sosial, senantiasa akan berinteraksi dengan manusia lain dalam upaya mewujudkan kebutuhan hidupnya. Kebutuhan hidup manusia tidak cukup yang bersifat dasar, seperti makan, minum, biologis, pakaian dan papan (rumah). Lebih dari itu, juga mencakup kebutuhan akan pengakuan eksistensi diri dan penghargaan dari orang lain dalam bentuk pujian, pemberian upah kerja, status sebagai anggota masyarakat, anggota suatu partai politik tertentu dan sebagainya.

Setiap warga negara, dalam kesehariannya hampir selalu bersentuhan dengan aspek-aspek politik praktis baik yang bersimbol maupun tidak. Dalam proses pelaksanaannya dapat terjadi secara langsung atau tidak langsung dengan praktik-praktik politik. Jika secara tidak langsung, hal ini sebatas mendengar informasi, atau berita-berita tentang peristiwa politik yang terjadi. Dan jika seraca langsung, berarti orang tersebut terlibat dalam peristiwa politik tertentu.

Kehidupan politik yang merupakan bagian dari keseharian dalam interaksi antar warga negara dengan pemerintah, dan institusi-institusi di luar pemerintah (non-formal), telah menghasilkan dan membentuk variasi pendapat, pandangan dan pengetahuan tentang praktik-praktik perilaku politik dalam semua sistem politik. Oleh karena itu, seringkali kita bisa melihat dan mengukur pengetahuan-pengetahuan, perasaan dan sikap warga negara terhadap negaranya, pemerintahnya, pemimpim politik dan lai-lain.

Budaya politik, merupakan bagian dari kebudayaan masyarakat dengan ciri-ciri yang lebih khas. Istilah budaya politik meliputi masalah legitimasi, pengaturan kekuasaan, proses pembuatan kebijakan pemerintah, kegiatan partai-partai politik, perilaku aparat negara, serta gejolak masyarakat terhadap kekuasaan yang me­merintah.

Kegiatan politik juga memasuki dunia keagamaan, kegiatan ekonomi dan sosial, kehidupan pribadi dan sosial secara luas. Dengan demikian, budaya politik langsung mempengaruhi kehidupan politik dan menentukan keputusan nasional yang menyangkut pola pengalokasian sumber-sumber masyarakat.

B. PENGERTIAN BUDAYA POLITIK

1. Pengertian Umum Budaya Politik

Budaya politik merupakan sistem nilai dan keyakinan yang dimiliki bersama oleh masyarakat. Namun, setiap unsur masyarakat berbeda pula budaya politiknya, seperti antara masyarakat umum dengan para elitenya. Seperti juga di Indonesia, menurut Benedict R. O'G Anderson, kebudayaan Indonesia cenderung membagi secara tajam antara kelompok elite dengan kelompok massa.

Almond dan Verba mendefinisikan budaya politik sebagai suatu sikap orientasi yang khas warga negara terhadap sistem politik dan aneka ragam bagiannya, dan sikap terhadap peranan warga negara yang ada di dalam sistem itu. Dengan kata lain, bagaimana distribusi pola-pola orientasi khusus menuju tujuan politik diantara masyarakat bangsa itu. Lebih jauh mereka menyatakan, bahwa warga negara senantiasa mengidentifikasikan diri mereka dengan simbol-simbol dan lembaga kenegaraan berdasarkan orientasi yang mereka miliki. Dengan orientasi itu pula mereka menilai serta mempertanyakan tempat dan peranan mereka di dalam sistem politik.

Berikut ini adalah beberapa pengertian budaya politik yang dapat dijadikan sebagai pedoman untuk lebih memahami secara teoritis sebagai berikut :

a. Budaya politik adalah aspek politik dari nilai-nilai yang terdiri atas pengetahuan, adat istiadat, tahayul, dan mitos. Kesemuanya dikenal dan diakui oleh sebagian besar masyarakat. Budaya politik tersebut memberikan rasional untuk menolak atau menerima nilai-nilai dan norma lain.

b. Budaya politik dapat dilihat dari aspek doktrin dan aspek generiknya. Yang pertama menekankan pada isi atau materi, seperti sosialisme, demokrasi, atau nasionalisme. Yang kedua (aspek generik) menganalisis bentuk, peranan, dan ciri-ciri budaya politik, seperti militan, utopis, terbuka, atau tertutup.

c. Hakikat dan ciri budaya politik yang menyangkut masalah nilai-nilai adalah prinsip dasar yang melandasi suatu pandangan hidup yang berhubungan dengan masalah tujuan.

d. Bentuk budaya politik menyangkut sikap dan norma, yaitu sikap terbuka dan tertutup, tingkat militansi seseorang terhadap orang lain dalam pergaulan masyarakat. Pola kepemimpinan (konformitas atau mendorong inisiatif kebebasan), sikap terhadap mobilitas (mempertahankan status quo atau men­dorong mobilitas), prioritas kebijakan (menekankan ekonomi atau politik).

Dengan pengertian budaya politik di atas, nampaknya membawa kita pada suatu pemahaman konsep yang memadukan dua tingkat orientasi politik, yaitu sistem dan individu. Dengan orientasi yang bersifat individual ini, tidaklah berarti bahwa dalam memandang sistem politiknya kita menganggap masyarakat akan cenderung bergerak ke arah individualisme. Jauh dari anggapan yang demikian, pandangan ini melihat aspek individu dalam orientasi politik hanya sebagai pengakuan akan adanya fenomena dalam masyarakat secara keseluruhan tidak dapat melepaskan diri dari orientasi individual.

1. Pengertian Budaya Politik Menurut Para Ahli

Terdapat banyak sarjana ilmu politik yang telah mengkaji tema budaya politik, sehingga terdapat variasi konsep tentang budaya politik yang kita ketahui. Namun bila diamati dan dikaji lebih jauh, tentang derajat perbedaan konsep tersebut tidaklah begitu besar, sehingga tetap dalam satu pemahaman dan rambu-rambu yang sama. Berikut ini merupakan pengertian dari beberapa ahli ilmu politik tentang budaya politik.

a. Rusadi Sumintapura

Budaya politik tidak lain adalah pola tingkah laku individu dan orientasinya terhadap kehidupan politik yang dihayati oleh para anggota suatu sistem politik.

b. Sidney Verba

Budaya politik adalah suatu sistem kepercayaan empirik, simbol-simbol ekspresif dan nilai-nilai yang menegaskan suatu situasi dimana tindakan politik dilakukan.

c. Alan R. Ball

Budaya politik adalah suatu susunan yang terdiri dari sikap, kepercayaan, emosi dan nilai-nilai masyarakat yang berhubungan dengan sistem politik dan isu-isu politik.

d. Austin Ranney

Budaya politik adalah seperangkat pandangan-pandangan tentang politik dan pemerintahan yang dipegang secara bersama-sama; sebuah pola orientasi-orientasi terhadap objek-objek politik.

e. Gabriel A. Almond dan G. Bingham Powell, Jr.

Budaya politik berisikan sikap, keyakinan, nilai dan keterampilan yang berlaku bagi seluruh populasi, juga kecenderungan dan pola-pola khusus yang terdapat pada bagian-bagian tertentu dari populasi.

Berdasarkan beberapa pengertian tersebut diatas (dalam arti umum atau menurut para ahli), maka dapat ditarik beberapa batasan konseptual tentang budaya politik sebagai berikut :

Pertama : bahwa konsep budaya politik lebih mengedepankan aspek-aspek non-perilaku aktual berupa tindakan, tetapi lebih menekankan pada berbagai perilaku non-aktual seperti orientasi, sikap, nilai-nilai dan kepercayaan-kepercayaan. Hal inilah yang menyebabkan Gabriel A. Almond memandang bahwa budaya politik adalah dimensi psikologis dari sebuah sistem politik yang juga memiliki peranan penting berjalannya sebuah sistem politik.

Kedua : hal-hal yang diorientasikan dalam budaya politik adalah sistem politik, artinya setiap berbicara budaya politik maka tidak akan lepas dari pembicaraan sistem politik. Hal-hal yang diorientasikan dalam sistem politik, yaitu setiap komponen-komponen yang terdiri dari komponen-komponen struktur dan fungsi dalam sistem politik. Seseorang akan memiliki orientasi yang berbeda terhadap sistem politik, dengan melihat fokus yang diorientasikan, apakah dalam tataran struktur politik, fungsi-fungsi dari struktur politik, dan gabungan dari keduanya. Misal orientasi politik terhadap lembaga politik terhadap lembaga legislatif, eksekutif dan sebagainya.

Ketiga : budaya politik merupakan deskripsi konseptual yang menggambarkan komponen-komponen budaya politik dalam tataran masif (dalam jumlah besar), atau mendeskripsikan masyarakat di suatu negara atau wilayah, bukan per-individu. Hal ini berkaitan dengan pemahaman, bahwa budaya politik merupakan refleksi perilaku warga negara secara massal yang memiliki peran besar bagi terciptanya sistem politik yang ideal.

1. Komponen-Komponen Budaya Politik

Seperti dikatakan oleh Gabriel A. Almond dan G. Bingham Powell, Jr., bahwa budaya politik merupakan dimensi psikologis dalam suatu sistem politik. Maksud dari pernyataan ini menurut Ranney, adalah karena budaya politik menjadi satu lingkungan psikologis, bagi terselenggaranya konflik-konflik politik (dinamika politik) dan terjadinya proses pembuatan kebijakan politik. Sebagai suatu lingkungan psikologis, maka komponen-komponen berisikan unsur-unsur psikis dalam diri masyarakat yang terkategori menjadi beberapa unsur.

Menurut Ranney, terdapat dua komponen utama dari budaya politik, yaitu orientasi kognitif (cognitive orientations) dan orientasi afektif (affective oreintatations). Sementara itu, Almond dan Verba dengan lebih komprehensif mengacu pada apa yang dirumuskan Parsons dan Shils tentang klasifikasi tipe-tipe orientasi, bahwa budaya politik mengandung tiga komponen obyek politik sebagai berikut.

Orientasi kognitif : yaitu berupa pengetahuan tentang dan kepercayaan pada politik, peranan dan segala kewajibannya serta input dan outputnya.

Orientasi afektif : yaitu perasaan terhadap sistem politik, peranannya, para aktor dan pe-nampilannya.

Orientasi evaluatif : yaitu keputusan dan pendapat tentang obyek-obyek politik yang secara tipikal melibatkan standar nilai dan kriteria dengan informasi dan perasaan.

C. TIPE-TIPE BUDAYA POLITIK

1. Berdasarkan Sikap Yang Ditunjukkan

Pada negara yang memiliki sistem ekonomi dan teknologi yang kompleks, menuntut kerja sama yang luas untuk memper­padukan modal dan keterampilan. Jiwa kerja sama dapat diukur dari sikap orang terhadap orang lain. Pada kondisi ini budaya politik memiliki kecenderungan sikap ”militan” atau sifat ”tolerasi”.

a. Budaya Politik Militan

Budaya politik dimana perbedaan tidak dipandang sebagai usaha mencari alternatif yang terbaik, tetapi dipandang sebagai usaha jahat dan menantang. Bila terjadi kriris, maka yang dicari adalah kambing hitamnya, bukan disebabkan oleh peraturan yang salah, dan masalah yang mempribadi selalu sensitif dan membakar emosi.

b. Budaya Politik Toleransi

Budaya politik dimana pemikiran berpusat pada masalah atau ide yang harus dinilai, berusaha mencari konsensus yang wajar yang mana selalu membuka pintu untuk bekerja sama. Sikap netral atau kritis terhadap ide orang, tetapi bukan curiga terhadap orang.

Jika pernyataan umum dari pimpinan masyarakat bernada sangat militan, maka hal itu dapat men­ciptakan ketegangan dan menumbuhkan konflik. Kesemuanya itu menutup jalan bagi pertumbuhan kerja sama. Pernyataan dengan jiwa tolerasi hampir selalu mengundang kerja sama. Berdasarkan sikap terhadap tradisi dan perubahan. Budaya Politik terbagi atas :

a. Budaya Politik Yang memiliki Sikap Mental Absolut

Budaya politik yang mempunyai sikap mental yang absolut memiliki nilai-nilai dan kepercayaan yang. dianggap selalu sempurna dan tak dapat diubah lagi. Usaha yang diperlukan adalah intensifikasi dari kepercayaan, bukan kebaikan. Pola pikir demikian hanya memberikan perhatian pada apa yang selaras dengan mentalnya dan menolak atau menyerang hal-hal yang baru atau yang berlainan (bertentangan). Budaya politik yang bernada absolut bisa tumbuh dari tradisi, jarang bersifat kritis terhadap tradisi, malah hanya berusaha memelihara kemurnian tradisi. Maka, tradisi selalu dipertahankan dengan segala kebaikan dan keburukan. Kesetiaan yang absolut terhadap tradisi tidak memungkinkan pertumbuhan unsur baru.

b. Budaya Politik Yang memiliki Sikap Mental Akomodatif

Struktur mental yang bersifat akomodatif biasanya terbuka dan sedia menerima apa saja yang dianggap berharga. Ia dapat melepaskan ikatan tradisi, kritis terhadap diri sendiri, dan bersedia menilai kembali tradisi berdasarkan perkembangan masa kini.

Tipe absolut dari budaya politik sering menganggap perubahan sebagai suatu yang membahayakan. Tiap perkembangan baru dianggap sebagai suatu tantangan yang berbahaya yang harus dikendalikan. Perubahan dianggap sebagai penyim­pangan. Tipe akomodatif dari budaya politik melihat perubahan hanya sebagai salah satu masalah untuk dipikirkan. Perubahan mendorong usaha perbaikan dan pemecahan yang lebih sempurna.

1. Berdasarkan Orientasi Politiknya

Realitas yang ditemukan dalam budaya politik, ternyata memiliki beberapa variasi. Berdasarkan orientasi politik yang dicirikan dan karakter-karakter dalam budaya politik, maka setiap sistem politik akan memiliki budaya politik yang berbeda. Perbedaan ini terwujud dalam tipe-tipe yang ada dalam budaya politik yang setiap tipe memiliki karakteristik yang berbeda-beda.

Dari realitas budaya politik yang berkembang di dalam masyarakat, Gabriel Almond mengklasifikasikan budaya politik sebagai berikut :

a. Budaya politik parokial (parochial political culture), yaitu tingkat partisipasi politiknya sangat rendah, yang disebabkan faktor kognitif (misalnya tingkat pendidikan relatif rendah).

b. Budaya politik kaula (subyek political culture), yaitu masyarakat bersangkutan sudah relatif maju (baik sosial maupun ekonominya) tetapi masih bersifat pasif.

c. Budaya politik partisipan (participant political culture), yaitu budaya politik yang ditandai dengan kesadaran politik sangat tinggi.

Dalam kehidupan masyarakat, tidak menutup kemungkinan bahwa terbentuknya budaya politik merupakan gabungan dari ketiga klasifikasi tersebut di atas. Tentang klasifikasi budaya politik di dalam masyarakat lebih lanjut adalah sebagai berikut.

No


Budaya Politik


Uraian / Keterangan

1.


Parokial


a. Frekuensi orientasi terhadap sistem sebagai obyek umum, obyek-obyek input, obyek-obyek output, dan pribadi sebagai partisipan aktif mendekati nol.

b. Tidak terdapat peran-peran politik yang khusus dalam masyarakat.

c. Orientasi parokial menyatakan alpanya harapan-harapan akan perubahan yang komparatif yang diinisiasikan oleh sistem politik.

d. Kaum parokial tidak mengharapkan apapun dari sistem politik.

e. Parokialisme murni berlangsung dalam sistem tradisional yang lebih sederhana dimana spesialisasi politik berada pada jenjang sangat minim.

f. Parokialisme dalam sistem politik yang diferensiatif lebih bersifat afektif dan normatif dari pada kognitif.

2.


Subyek/Kaula


a. Terdapat frekuensi orientasi politik yang tinggi terhadap sistem politik yang diferensiatif dan aspek output dari sistem itu, tetapi frekuensi orientasi terhadap obyek-obyek input secara khusus, dan terhadap pribadi sebagai partisipan yang aktif mendekati nol.

b. Para subyek menyadari akan otoritas pemerintah

c. Hubungannya terhadap sistem plitik secara umum, dan terhadap output, administratif secara esensial merupakan hubungan yang pasif.

d. Sering wujud di dalam masyarakat di mana tidak terdapat struktur input yang terdiferensiansikan.

e. Orientasi subyek lebih bersifat afektif dan normatif daripada kognitif.

3.


Partisipan


a. Frekuensi orientasi politik sistem sebagai obyek umum, obyek-obyek input, output, dan pribadi sebagai partisipan aktif mendekati satu.

b. Bentuk kultur dimana anggota-anggota masyarakat cenderung diorientasikan secara eksplisit terhadap sistem politik secara komprehensif dan terhadap struktur dan proses politik serta administratif (aspek input dan output sistem politik)

c. Anggota masyarakat partisipatif terhadap obyek politik

d. Masyarakat berperan sebagai aktivis.

Kondisi masyarakat dalam budaya politik partisipan mengerti bahwa mereka berstatus warga negara dan memberikan perhatian terhadap sistem politik. Mereka memiliki kebanggaan terhadap sistem politik dan memiliki kemauan untuk mendiskusikan hal tersebut. Mereka memiliki keyakinan bahwa mereka dapat mempengaruhi pengambilan kebijakan publik dalam beberapa tingkatan dan memiliki kemauan untuk mengorganisasikan diri dalam kelompok-kelompok protes bila terdapat praktik-praktik pemerintahan yang tidak fair.

Budaya politik partisipan merupakan lahan yang ideal bagi tumbuh suburnya demokrasi. Hal ini dikarenakan terjadinya harmonisasi hubungan warga negara dengan pemerintah, yang ditunjukan oleh tingkat kompetensi politik, yaitu menyelesaikan sesuatu hal secara politik, dan tingkat efficacy atau keberdayaan, karena mereka merasa memiliki setidaknya kekuatan politik yang ditunjukan oleh warga negara. Oleh karena itu mereka merasa perlu untuk terlibat dalam proses pemilu dan mempercayai perlunya keterlibatan dalam politik. Selain itu warga negara berperan sebagai individu yang aktif dalam masyarakat secara sukarela, karena adanya saling percaya (trust) antar warga negara. Oleh karena itu dalam konteks politik, tipe budaya ini merupakan kondisi ideal bagi masyarakat secara politik.

Budaya Politik subyek lebih rendah satu derajat dari budaya politikpartisipan. Masyarakat dalam tipe budaya ini tetap memiliki pemahaman yang sama sebagai warga negara dan memiliki perhatian terhadap sistem politik, tetapi keterlibatan mereka dalam cara yang lebih pasif. Mereka tetap mengikuti berita-berita politik, tetapi tidak bangga terhadap sistem politik negaranya dan perasaan komitmen emosionalnya kecil terhadap negara. Mereka akan merasa tidak nyaman bila membicarakan masalah-masalah politik.

Demokrasi sulit untuk berkembang dalam masyarakat dengan budaya politik subyek, karena masing-masing warga negaranya tidak aktif. Perasaan berpengaruh terhadap proses politik muncul bila mereka telah melakukan kontak dengan pejabat lokal. Selain itu mereka juga memiliki kompetensi politik dan keberdayaan politik yang rendah, sehingga sangat sukar untuk mengharapkan artisipasi politik yang tinggi, agar terciptanya mekanisme kontrol terhadap berjalannya sistem politik.

Budaya Politik parokial merupakan tipe budaya politik yang paling rendah, yang didalamnya masyarakat bahkan tidak merasakan bahwa mereka adalah warga negara dari suatu negara, mereka lebih mengidentifikasikan dirinya pada perasaan lokalitas. Tidak terdapat kebanggaan terhadap sistem politik tersebut. Mereka tidak memiliki perhatian terhadap apa yang terjadi dalam sistem politik, pengetahuannya sedikit tentang sistem politik, dan jarang membicarakan masalah-masalah politik.

Budaya politik ini juga mengindikasikan bahwa masyarakatnya tidak memiliki minat maupun kemampuan untuk berpartisipasi dalam politik. Perasaan kompetensi politik dan keberdayaan politik otomatis tidak muncul, ketika berhadapan dengan institusi-institusi politik. Oleh karena itu terdapat kesulitan untuk mencoba membangun demokrasi dalam budaya politik parokial, hanya bisa bila terdapat institusi-institusi dan perasaan kewarganegaraan baru. Budaya politik ini bisa dtemukan dalam masyarakat suku-suku di negara-negara belum maju, seperti di Afrika, Asia, dan Amerika Latin.

Namun dalam kenyataan tidak ada satupun negara yang memiliki budaya politik murni partisipan, pariokal atau subyek. Melainkan terdapat variasi campuran di antara ketiga tipe-tipe tersebut, ketiganya menurut Almond dan Verba tervariasi ke dalam tiga bentuk budaya politik, yaitu :

a. Budaya politik subyek-parokial (the parochial- subject culture)

b. Budaya politik subyek-partisipan (the subject-participant culture)

c. Budaya politik parokial-partisipan (the parochial-participant culture)

Berdasarkan penggolongan atau bentuk-bentuk budaya politik di atas, dapat dibagi dalam tiga model kebudayaan politik sebagai berikut :

Model-Model Kebudayaan Politik

Demokratik Industrial


Sistem Otoriter


Demokratis Pra Industrial

Dalam sistem ini cukup banyak aktivis politik untuk menjamin adanya kompetisi partai-partai poli-tik dan kehadiran pemberian suara yang besar.


Di sini jumlah industrial dan modernis sebagian kecil, meskipun terdapat organisasi politik dan partisipan politik seperti mahasiswa, kaum in-telektual dengan tindakan persuasif menentang sis-tem yang ada, tetapi seba-gian besar jumlah rakyat hanya menjadi subyek yang pasif.


Dalam sistem ini hanya terdapat sedikit sekali parti-sipan dan sedikit pula keter-libatannya dalam peme-rintahan

Pola kepemimpinan sebagai bagian dari budaya politik, menuntut konformitas atau mendorong aktivitas. Di negara berkembang seperti Indonesia, pemerintah diharapkan makin besar peranannya dalam pembangunan di segala bidang. Dari sudut penguasa, konformitas menyangkut tuntutan atau harapan akan dukungan dari rakyat. Modifikasi atau kompromi tidak diharapkan, apalagi kritik. Jika pemimpin itu merasa dirinya penting, maka dia menuntut rakyat menunjuk­kan kesetiaannya yang tinggi. Akan tetapi, ada pula elite yang menyadari inisiatif rakyat yang menentukan tingkat pembangunan, maka elite itu sedang mengembang­kan pola kepemimpinan inisiatif rakyat dengan tidak mengekang kebebasan.

Suatu pemerintahan yang kuat dengan disertai kepasifan yang kuat dari rakyat, biasanya mempunyai budaya politik bersifat agama politik, yaitu politik dikembang­kan berdasarkan ciri-ciri agama yang cenderung mengatur secara ketat setiap anggota masyarakat. Budaya tersebut merupakan usaha percampuran politik dengan ciri-ciri keagamaan yang dominan dalam masyarakat tradisional di negara yang baru berkembang.

David Apter memberi gambaran tentang kondisi politik yang menimbulkan suatu agama politik di suatu masyarakat, yaitu kondisi politik yang terlalu sentralistis dengan peranan birokrasi atau militer yang terlalu kuat. Budaya politik para elite berdasarkan budaya politik agama tersebut dapat mendorong atau menghambat pembangunan karena massa rakyat harus menyesuaikan diri pada kebijaksanaan para elite politik.

D. SOSIALISASI PENGEMBANGAN BUDAYA POLITIK

1. Pengertian Umum

Sosialisasi Politik, merupakan salah satu dari fungsi-fungsi input sistem politik yang berlaku di negara-negara manapun juga baik yang menganut sistem politik demokratis, otoriter, diktator dan sebagainya. Sosialisasi politik, merupakan proses pembentukan sikap dan orientasi politik pada anggota masyarakat.

Keterlaksanaan sosialisasi politik, sangat ditentukan oleh lingkungan sosial, ekonomi, dan kebudayaan di mana seseorang/individu berada. Selain itu, juga ditentukan oleh interaksi pengalaman­-pengalaman serta kepribadian seseorang. Sosialsiasi politik, merupakan proses yang ber­langsung lama dan rumit yang dihasilkan dari usaha saling mempengaruhi di antara kepribadian individu dengan pengalaman-pengalaman politik yang relevan yang memberi bentuk terhadap tingkah laku politiknya. Pengetahuan, nilai-nilai, dan sikap­-sikap yang diperoleh seseorang itu membentuk satu layar persepsi, melalui mana individu menerima rangsangan-rangsangan politik. Tingkah laku politik seseorang berkembang secara berangsur-angsur.

Jadi, sosialisasi politik adalah proses dengan mana individu-individu dapat memperoleh pengetahuan, nilai-nilai, dan sikap-sikap terhadap sistem politik masyarakatnya. Peristiwa ini tidak menjamin bahwa masyarakat mengesahkan sistem politiknya, sekalipun hal ini mungkin bisa terjadi. Sebab hal ini bisa saja menyebabkan pengingkaran terhadap legitimasi. Akan tetapi, apakah akan menuju kepada stagnasi atau perubahan, tergantung pada keadaan yang menyebabkan pengingkaran tersebut. Apabila tidak ada legitimasi itu disertai dengan sikap bermusuhan yang aktif terhadap sistem politiknya, maka perubahan mungkin terjadi. Akan tetapi, apabila legitimasi itu dibarengi dengan sikap apatis terhadap sistem politiknya, bukan tak mungkin yang dihasilkan stagnasi

1. Pengertian Menurut Para ahli

Berbagai pengertian atau batasan mengenai sosialisasi politik telah banyak dilakukan oleh para ilmuwan terkemuka. Sama halnya dengan pengertian-pengertian tentang budaya politik, sistem politik dan seterusnya, meskipun diantara para ahli politik terdapat perbedaan, namun pada umumnya tetap pada prinsip-prinsip dan koridor yang sama. Berikut ini akan dikemukana beberapa pengertian sosialisasi politik menurut para ahli.

1. David F. Aberle, dalam “Culture and Socialization”

Sosialisasi politik adalah pola-pola mengenai aksi sosial, atau aspek-aspek tingkah laku, yang menanamkan pada individu-individu keterampilan-keterampilan (termasuk ilmu pengetahuan), motif-motif dan sikap-sikap yang perlu untuk menampilkan peranan-peranan yang sekarang atau yang tengah diantisipasikan (dan yang terus berkelanjutan) sepanjang kehidupan manusia normal, sejauh peranan-peranan baru masih harus terus dipelajari.

2. Gabriel A. Almond

Sosialisasi politik menunjukkan pada proses dimana sikap-sikap politik dan pola-pola tingkah laku politik diperoleh atau dibentuk, dan juga merupakan sarana bagi suatu generasi untuk menyampaikan patokan-patokan politik dan keyakinan-keyakinan politik kepada generasi berikutnya.

3. Irvin L. Child

Sosialisasi politik adalah segenap proses dengan mana individu, yang dilahirkan dengan banyak sekali jajaran potensi tingkah laku, dituntut untuk mengembangkan tingkah laku aktualnya yang dibatasi di dalam satu jajaran yang menjadi kebiasaannya dan bisa diterima olehnya sesuai dengan standar-standar dari kelompoknya.

4. Richard E. Dawson dkk.

Sosialisasi politik dapat dipandang sebagai suatu pewarisan pengetahuan, nilai-nilai dan pandangan-pandangan politik dari orang tua, guru, dan sarana-sarana sosialisasi yang lainnya kepada warga negara baru dan mereka yang menginjak dewasa.

5. S.N. Eisentadt, dalam From Generation to Ganeration

Sosialisasi politik adalah komunikasi dengan dan dipelajari oleh manusia lain, dengan siapa individu-individu yang secara bertahap memasuki beberapa jenis relasi-relasi umum. Oleh Mochtar Mas’oed disebut dengan transmisi kebudayaan.

6. Denis Kavanagh

Sosialisasi politik merupakan suatu proses dimana seseorang mempelajari dan menumbuhkan pandangannya tentang politik.

7. Alfian

Mengartikan pendidikan politik sebagai usaha sadar untuk mengubah proses sosialisasi politik masyarakat, sehingga mereka mengalami dan menghayati betul nilai-nilai yang terkandung dalam suatu sistem politik yang ideal yang hendak dibangun. Hasil dari penghayatan itu akan melahirkan sikap dan perilaku politik baru yang mendukung sistem politik yang ideal tersebut, dan bersamaan dengan itu lahir pulalah kebudayaan politik baru. Dari pandangan Alfian, ada dua hal yang perlu diperhatikan, yakni:

pertama : sosialisasi politik hendaknya dilihat sebagai suatu proses yang berjalan terus-menerus selama peserta itu hidup.

Kedua : sosialisasi politik dapat berwujud transmisi yang berupa pengajaran secara langsung dengan melibatkan komunikasi informasi, nilai-nilai atau perasaan-perasaan mengenai politik secara tegas. Proses mana berlangsung dalam keluarga, sekolah, kelompok pergaulan, kelompok kerja, media massa, atau kontak politik langsung.

Dari sekian banyak definisi ini nampak mempunyai banyak kesamaan dalam mengetengah-kan beberapa segi penting sosialisasi politik, sebagai berikut.

1. Sosialisasi secara fundamental merupakan proses hasil belajar, belajar dari pengalaman/ pola-pola aksi.
2. memberikan indikasi umum hasil belajar tingkah laku individu dan kelompok dalam batas-batas yang luas, dan lebih khusus lagi, berkenaan pengetahuan atau informasi, motif-motif (nilai-nilai) dan sikap-sikap.
3. sosialisasi itu tidak perlu dibatasi pada usia anak-anak dan remaja saja (walaupun periode ini paling penting), tetapi sosialisasi berlangsung sepanjang hidup.
4. bahwa sosialisasi merupakan prakondisi yang diperlukan bagi aktivitas sosial, dan baik secara implisit maupun eksplisit memberikan penjelasan mengenai tingkah laku sosial.

Dari sekian banyak pendapat di atas, menurut Michael Rush & Phillip Althoff, ada dua masalah yang berasosiasi dengan definisi-definisi tersebut di atas.

Pertama : seluas manakah sosialisasi itu merupakan proses pelestarian yang sistematis? Hal ini penting sekali untuk menguji hubungan antara sosialisasi dan perubahan sosial; atau istilah kaum fungsionalis, sebagai pemeliharaan sistem. Dalam kenyataan tidak ada alasan sama sekali untuk menyatakan mengapa suatu teori mengenai sosialisasi politik itu tidak mampu memperhitungkan: ada atau tidaknya perubahan sistematik dan perubahan sosial; menyediakan satu teori yang memungkin pencantuman dua variabel penting, dan tidak membatasi diri dengan segala sesuatu yang telah dipelajari, dengan siapa yang diajar, siapa yang mengajar dan hasil-hasil apa yang diperoleh. Dua variabel penting adalah pengalaman dan kepribadian dan kemudian akan dibuktikan bahwa kedua-duanya, pengalaman dan kepribadian individu, lebih-lebih lagi pengalaman dan kepribadian kelompok-kelompok individu- adalah fundamental bagi proses sosialisasi dan bagi proses perubahan.

Kedua : adalah berkaitan dengan keluasan, yang mencakup tingkah laku, baik yang terbuka maupun yang tertutup, yang diakses yang dipelajari dan juga bahwa berupa instruksi. Instruksi merupakan bagian penting dari sosialisasi, tidak perlu disangsikan, orang tua bisa mengajarkan kepada anak-anaknya beberapa cara tingkah laku sosial tertentu; sistem-sistem pendidikan kemasyarakatan, dapat memasukkan sejumlah ketentuan mengenai pendidikan kewarganegaraan; negara bisa secara berhati-hati menyebarkan ideologi-ideologi resminya. Akan tetapi tidak bisa terlalu ditekankan, bahwa satu bagian besar bahkan sebagian terbesar sosialisasi, merupakan hasil eksperimen; karena semua itu berlangsung secara tidak sadar, tertutup, tidak bisa diakui dan tidak bisa dkenali.

Istilah-istilah seperti “menanamkan” dan sampai batas kecil tertentu “menuntun pada perkembangan” kedua-duanya cenderung mengaburkan segi penting dari sosialisasi. Maka Michael Oakeshott menyatakan; “Pendidikan politik dimulai dari keminkamtaan meminati tradisi dalam bentuk pengamatan dan peniruan terhadap tingkah laku orang tua kita, dan sedikit sekali atau bahkan tidak ada satupun di dunia ini yang tampak di depan mat akita tanpa memberikan kontribusi terhadapnya. Kita menyadari akan masa lampau dan masa yang akan datang, secepat kesadaran kita terhadap masa sekarang.”

Jadi, walaupun kenyataan bahwa sosialisasi itu sebagian bersifat terbuka, sistematik dan disengaja, namun secar atotal adalah tidak realistis untuk berasumsi bahwa makna setiap pengalaman harus diakui oleh pelakunya, atau oleh yang melakukan tindakan yang menyangkut pengalaman tersebut.

Kiranya kita dapat memahami bahwa sosialisasi politik adalah proses, dengan mana individu-individu dapat memperoleh pengetahuan, nilai-nilai dan sikap-sikap terhadap sistem politik masyarakatnya. Peristiwa ini tidak menjamin bahwa masyarakat mengesahkan sistem politiknya, sekalipun hal ini mungkin terjadi. Sebab hal ini bisa saja menyebabkan pengingkaran terhadap legitimasi; akan tetapi apakah hal ini menuju pada stagnasi atau pada perubahan, tergantung pada keadaan yang menyebabkan pengingkaran tersebut. Apabila tidak adanya legitimasi itu disertai dengan sikap bermusuhan yang aktif terhadap sistem politiknya, maka perubahan mungkin saja terjadi, akan tetapi apabila legitimasi itu dibarengi dengan sikap apatis terhadap sistem politiknya, bukan tidakmungkin terjadi stagnasi.

2. Proses Sosialisasi Politik

Perkembangan sosiologi politik diawali pada masa kanak-kanak atau remaja. Hasil riset David Easton dan Robert Hess mengemukakan bahwa di Amerika Serikat, belajar politik dimulai pada usia tiga tahun dan menjadi mantap pada usia tujuh tahun. Tahap lebih awal dari belajar politik mencakup perkembangan dari ikatan-ikatan lingkungan,, seperti "keterikatan kepada sekolah-sekolah mereka", bahwa mereka berdiam di suatu daerah tertentu. Anak muda itu mempunyai kepercayaan pada keindahan negerinva, kebaikan serta kebersihan rakyatnya. Manifestasi ini diikuti oleh simbol-simbol otoritas umum, seperti agen polisi, presiden, dan bendera nasional. Pada usia sembilan dan sepuluh tahun timbul kesadaran akan konsep yang lebih abstrak, seperti pemberian suara, demokrasi, kebebasan sipil, dan peranan warga negara dalam sistem politik.

Peranan keluarga dalam sosialisasi politik sangat penting. Menurut Easton dan Hess, anak-anak mempunyai gambaran yang sama mengenai ayahnya dan presiden selama bertahun-tahun di sekolah awal. Keduanya dianggap sebagai tokoh kekuasaan. Easton dan Dennis mengutarakan ada 4 (empat) tahap dalam proses sosialisasi politik dari anak, yaitu sebagai berikut.

1. Pengenalan otoritas melalui individu tertentu, seperti orang tua anak, presiden dan polisi.
2. Perkembangan pembedaan antara otoritas internal dan yang ekternal, yaitu antara pejabat swasta dan pejabat pemerintah.
3. Pengenalan mengenai institusi-institusi politik yang impersonal, seperti kongres (parlemen), mahkamah agung, dan pemungutan suara (pemilu).
4. Perkembangan pembedaan antara institusi-institusi politik dan mereka yang terlibat dalam aktivitas yang diasosiasikan dengan institusi-institusi ini.

Suatu penelitian secara khusus telah dilakukan guna menyelidiki nilai-nilai pengasuhan anak yang dilakukan oleh berbagai generasi orang tua di Rusia. Nilai-nilai itu adalah sebagai berikut :

1. Tradisi; terutama agama, tetapi juga termasuk ikatan-ikatan kekeluargaan dan tradisi pada umumnya
2. Prestasi; ketekunan, pencapaian/perolehan, ganjaran-ganjaran material mobilitas sosial.
3. Pribadi; kejujuran, ketulusan, keadilan, dan kemurahan hati.
4. Penyesuaian diri; bergaul dengan balk, menjauhkan diri dari kericuhan, menjaga keamanan dan ketentraman.
5. Intelektual; belajar dan pengetahuan sebagai tujuan.
6. Politik; sikap-sikap, nilai-nilai, dan kepercayaan berkaitan dengan pemerin­tahan.

Sosialisasi politik adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan proses dengan jalan mana orang belajar tentang politik dan mengembangkan orientasi pada politik. Adapun sarana alat yang dapat dijadikan sebagai perantara/sarana dalam sosialisasi politik, antara lain :

1) Keluarga (family)

Wadah penanaman (sosialisasi) nilai-nilai politik yang paling efisien dan efektif adalah di dalam keluarga. Di mulai dari keluarga inilah antara orang tua dengan anak, sering terjadi “obrolan” politik ringan tentang segala hal, sehingga tanpa disadari terjadi tranfer pengetahuan dan nilai-nilai politik tertentu yang diserap oleh si anak.

2) Sekolah

Di sekolah melalui pelajaran civics education (pendidikan kewarganegaraan), siswa dan gurunya saling bertukar informasi dan berinteraksi dalam membahas topik-topik tertentu yang mengandung nilai-nilai politik teoritis maupun praktis. Dengan demikian, siswa telah memperoleh pengetahuan awal tentang kehidupan berpolitik secara dini dan nilai-nilai politik yang benar dari sudut pandang akademis.

3) Partai Politik

Salah satu fungsi dari partai politik adalah dapat memainkan peran sebagai sosialisasi politik. Ini berarti partai politik tersebut setelah merekrut anggota kader maupun simpati-sannya secara periodik maupun pada saat kampanye, mampu menanamkan nilai-nilai dan norma-norma dari satu generasi ke generasi berikutnya. Partai politik harus mampu men-ciptakan “image” memperjuangkan kepentingan umum, agar mendapat dukungan luas dari masyarakat dan senantiasa dapat memenangkan pemilu.

Khusus pada masyarakat primitif, proses sosialisasi terdapat banyak perbedaan. Menurut Robert Le Vine yang telah menyelidiki sosialisasi di kalangan dua suku bangsa di Kenya Barat Daya: kedua suku bangsa tersebut merupakan kelompok-kelompok yang tidak tersentralisasi dan sifatnya patriarkis. Mereka mempunyai dasar penghidupan yang sama dan ditandai ciri karakteristik oleh permusuhan berdarah. Akan tetapi, suku Neuer pada dasarnya bersifat egaliter (percaya semua orang sama derajatnya) dan pasif, sedangkan suku Gusii bersifat otoriter dan agresif. Anak dari masing-masing suku didorong dalam menghayati tradisi mereka masing-masing.

4. Sosialisasi Politik dalam Masyarakat Berkembang

Masalah sentral sosiologi politik dalam masyarakat berkembang ialah menyang­kut perubahan. Hal ini dilukiskan dengan jelas oleh contoh negara Turki, di mana satu usaha yang sistematis telah dilakukan untuk mempengaruhi maupun untuk mempermudah mencocokkan perubahan yang berlangsung sesudah Perang Dunia Pertama. Mustapha Kemal (Kemal Ataturk) berusaha untuk memodernisasi Turki, tidak hanya secara material, tetapi juga melalui proses-proses sosialisasi. Contoh yang sama dapat juga dilihat pada negara Ghana.

Menurut Robert Le Vine, terdapat 3 (tiga) faktor masalah penting dalam sosialisasi politik pada masyarakat berkembang, yaitu sebagai berikut :

1. Pertumbuhan penduduk di negara-negara berkembang dapat melampaui kapasitas mereka untuk "memodernisasi" keluarga tradisonal lewat indus­trialisasi dan pendidikan.
2. Sering terdapat perbedaan yang besar dalam pendidikan dan nilai-nilai tradisional antara jenis-jenis kelamin, sehingga kaum wanita lebih erat terikat pada nilai tradisonal. Namun, si Ibu dapat memainkan satu peranan penting pada saat sosialisasi dini dari anak.
3. Adalah mungkin pengaruh urbanisasi, yang selalu dianggap sebagai satu kekuatan perkasa untuk menumbangkan nilai-nilai tradisional. Paling sedikitnya secara parsial juga terimbangi oleh peralihan dari nilai-nilai ke dalam daerah-daerah perkotaan, khususnya dengan pembentukan komunitas­komunitas kesukuan dan etnis di daerah-daerah ini.

5. Sosialisasi Politik dan Perubahan

Sifat sosialisasi politik yang bervariasi menurut waktu serta yang selalu menyesuaikan dengan lingkungan yang memberinya kontribusi, berkaitan dengan sifat dari pemerintahan dan derajat serta sifat dari perubahan. Semakin stabil pemerintahan, semakin terperinci agensi-agensi utama dari sosialisasi politik Sebaliknya, semakin besar derajat perubahan dalam satu pemerintahan non totaliter, akan semakin tersebarlah agensi-agensi utama dari sosialisasi politik. Semakin totaliter sifat perubahan politik, semakin kecil jumlah agensi-agensi utama dari sosialisasi politik itu.

Dalam The Civic Culture, Almond dan Verba mengemukakan hasil survei silang nasional (cross-national) mengenai kebudayaan politik. Penelitian mereka menyimpul­kan bahwa masing-masing kelima negara yang ditelitinya, Amerika Serikat, Inggris, Jerman, Italia, dan Meksiko, mempunyai kebudayaan politik tersendiri. Amerika dan Inggris dicirikan oleh penerimaan secara umum terhadap sistem politik, oleh suatu tingkatan partisipasi politik yang cukup tinggi dan oleh satu perasaan yang meluas di kalangan para responden bahwa mereka dapat mempengaruhi peristiwa-peristiwa sampai pada satu taraf tertentu.

Tekanan lebih besar diletakkan orang-orang Amerika pada masalah partisipasi, sedangkan orang Inggris memperlihatkan rasa hormat yang lebih besar terhadap pemerintahan mereka. Kebudayaan politik dari Jerman ditandai oleh satu derajat sikap yang tidak terpengaruh oleh sistem dan sikap yang lebih pasif terhadap partisipasinya. Meskipun demikian, para respondennya merasa mampu untuk mempengaruhi peristiwa-peristiwa tersebut. Sedangkan di Meksiko merupakan bentuk campuran antara penerimaan terhadap teori politik dan keterasingan dari substansinya.

Suatu faktor kunci di dalam konsep kebudayaan politik adalah legitimasi, sejauh mana suatu sistem politik dapat diterima oleh masyarakat. Legitimasi itu dapat meluas sampai pada banyak aspek dari sistem politik atau dapat dibatasi dalam beberapa aspek. Seperti di Amerika Serikat, kebanyakan orang Amerika menerima lembaga presiden, kongres, dan MA, tetapi penggunaan hak-hak dari lembaga tersebut selalu mendapat kritik dari masyarakat.

6. Sosialisasi Politik dan Komunikasi Politik

Sosialisasi politik, menurut Hyman merupakan suatu proses belajar yang kontinyu yang melibatkan baik belajar secara emosional (emotional learning) maupun indoktrinasi politik yang manifes (nyata) dan dimediai (sarana komunikasi) oleh segala partisipasi dan pengalaman si individu yang menjalaninya. Rumusan ini menunjukkan betapa besar peranan komunikasi politik dalam proses sosialisasi politik di tengah warga suatu masyarakat. Tidak salah jika dikemukakan bahwa segala aktivitas komunikasi politik berfungsi pula sebagai suatu proses sosialisasi bagi anggota masyarakat yang terlibat baik secara langsung maupun tidak langsung dalam aktivitas komunikasi politik tersebut.

Dalam suatu sistem politik negara, fungsi sosialisasi menunjukkan bahwa semua sistem politik cenderung berusaha mengekalkan kultur dan struktur mereka sepanjang waktu. Hal ini dilakukan terutama melalui cara pengaruh struktur-struktur primer dan sekunder yang dilalaui oleh anggota muda masyarakat dalam proses pendewasaan mereka. Menurut G. A. Almond, kata “terutama” sengaja digunakan karena dalam sosialisasi politik – seperti halnya belajar dalam pengertian yang umum – tidak berhenti pada titik pendewasaan itu sendiri, terlepas dari bagaimanapun batasannya pada masyarakat yang berbeda-beda.

Di dalam realitas kehidupan masyarakat, pola-pola sosialisasi politik juga mengalami perubahan seperti juga berubahnya struktur dan kultur politik. Perubahan-perubahan tersebut menyangkut pula soal perbedaan tingkat keterlibatan dan derajat perubahan dalam sub sistem masyarakat yang beraneka ragam.

Pada sisi lain, sosialisasi politik merupakan proses induksi ke dalam suatu kultur politik yang dimiliki oleh sistem politik yang dimaksud. Hasil akhir proses ini adalah seperangkat sikap mental, kognisi (pengetahuan), standar nilai-nilai dan perasaan-perasaan terhadap sistem politik dan aneka perannya serta peran yang berlaku. Hasil proses tersebut juga mencakup pengetahuan tentang nilai-nilai yang mempengaruhi, serta perasaan mengenai masukan tentang tuntutan dan claim terhadap sistem, dan output otorotatif-nya.

Dalam proses sosialisasi politik kaitannya dengan fungsi komunikasi politik, berhubungan dengan struktur-struktur yang terlibat dalam sosialisasi serta gaya sosialisasi itu sendiri. Pada sistem politik masyarakat modern, institusi seperti kelompok sebaya, komuniti, sekolah, kelompok kerja, perkumpulan-perkumpulan sukarela, media komunikasi, partai-partai politik dan institusi pemerintah semuanya dapat berperan dalam sosialisasi politik. Kemudian perkumpulan-perkumpulan, relasi-relasi dan partisipasi dalam kehidupan kaum dewasa melanjutkan proses tersebut untuk seterusnya.

Almond, mengatakan bahwa sosialisasi politik bisa bersifat nyata (manifes) dan bisa pula tidak nyata (laten).

Sosialisasi Politik Manifes


Sosialisasi Politik Laten

Berlangsung dalam bentuk transmisi informasi, nilai-nilai atau perasaan terhadap peran, input dan output sistem politik.


Dalam bentuk transmisi informasi, nilai-nilai atau perasaan terhadap peran, input dan output mengenai sistem sosial yang lain seperti keluarga yang mempengaruhi sikap terhadap peran, input dan output sistem politik yang analog (adanya persamaan).

Dalam suatu bangsa yang majemuk dan besar seperti Indonesia, India, Cina dan sebagainya, informasi yang diterima oleh aneka unsur masyarakat akan berlainan karena faktor geografis baik yang di kota maupun di desa. Pada sebagian besar negara berkembang, pengaruh media masa (radio, surat kabar dan televisi) di pedesaan sangat terbatas. Oleh karena itu, pengaruh struktur-struktur sosial tradisional dalam menterjemahkan informasi yang menjangkau wilayah tersebut amatlah besar. Heterogenitas informasi ini memperkuat perbedaan orientasi dan sikap (attitude) diantara kelompok-kelompok yang mengalami sosialisasi primer yang amat berbeda dari kelompok ataupun teman sebaya.

Berbeda dengan negara yang sudah maju seperti Amerika, Inggris, Jerman dan sebagainya arus informasi relatif homogen. Para elite politik pemerintahan mungkin mempunyai sumber-sumber informasi khusus melalui badan-badan birokrasi tertentu, surat kabar tertentu yang ditujukan pada kelompok kelas atau politik tertentu. Dengan demikian, semua kelompok masyarakat mempunyai akses ke suatu arus informasi dan media massa yang relatif homogen dan otonom sehingga hambatan-hambatan bahasa atau orientasi kultural sangat minim. Masyarakat dapat melakukan kontrol terhadap para elite politik dan sebaliknya kaum elite-pun dapat segera mengetahui tuntutan masyarakat dan konsekuensi dari segala macam tindakan pemerintah.

A. E. PERAN SERTA BUDAYA POLITIK PARTISIPAN

1. Pengertian Partisipasi Politik

Pembahasan tentang budaya politik tidak terlepas dari partisipasi politik warga negara. Partisipasi politik pada dasarnya merupakan bagian dari budaya politik, karena keberadaan struktur-struktur politik di dalam masyarakat, seperti partai politik, kelompok kepentingan, kelompok penekan dan media masa yang kritis dan aktif. Hal ini merupakan satu indikator adanya keterlibatan rakyat dalam kehidupan politik (partisipan).

Bagi sebagian kalangan, sebenarnya keterlibatan rakyat dalam proses politik, bukan sekedar pada tataran formulasi bagi keputusan-keputusan yang dikeluarkan pemerintah atau berupa kebijakan politik, tetapi terlibat juga dalam implementasinya yaitu ikut mengawasi dan mengevaluasi implementasi kebijakan tersebut.

Partisipasi Politik adalah kegiatan seseorang atau sekelompok orang untuk ikut serta secara aktif dalam kehidupan politik, seperti memilih pimpinan negara atau upaya-upaya mempengaruhi kebijakan pemerintah. Menurut Myron Weiner, terdapat lima penyebab timbulnya gerakan ke arah partisipasi lebih luas dalam proses politik, yaitu sebagai berikut :

a. Modernisasi dalam segala bidang kehidupan yang menyebabkan masyarakat makin banyak menuntut untuk ikut dalam kekuasaan politik.

b. Perubahan-perubahan struktur kelas sosial. Masalah siapa yang berhak berpartisipasi dan pembuatan keputusan politik menjadi penting dan mengakibatkan perubahan dalam pola partisipasi politik.

c. Pengaruh kaum intelektual dan kemunikasi masa modern. Ide demokratisasi partisipasi telah menyebar ke bangsa-bangsa baru sebelum mereka mengembangkan modernisasi dan industrialisasi yang cukup matang.

d. Konflik antar kelompok pemimpin politik, jika timbul konflik antar elite, maka yang dicari adalah dukungan rakyat. Terjadi perjuangan kelas menentang melawan kaum aristokrat yang menarik kaum buruh dan membantu memperluas hak pilih rakyat.

e. Keterlibatan pemerintah yang meluas dalam urusan sosial, ekonomi, dan kebudayaan. Meluasnya ruang lingkup aktivitas pemerintah sering merangsang timbulnya tuntutan-tuntutan yang terorganisasi akan kesempatan untuk ikut serta dalam pembuatan keputusan politik.

2. Konsep Partisipasi Politik

Dalam ilmu politik, dikenal adanya konsep partisipasi politik untuk memberi gambaran apa dan bagaimana tentang partisipasi politik. Dalam perkembangannya, masalah partisipasi politik menjadi begitu penting, terutama saat mengemukanya tradisi pendekatan behavioral (perilaku) dan Post Behavioral (pasca tingkah laku). Kajian-kajian partisipasi politik terutama banyak dilakukan di negara-negara berkembang, yang pada umumnya kondisi partisipasi politiknya masih dalam tahap pertumbuhan.

Dalam ilmu politik sebenarnya apa yang dimaksud dengan konsep partisipasi politik ? siapa saja yang terlibat ? apa implikasinya ? bagaimana bentuk praktik-praktiknya partisipasi politik ? apakah ada tingkatan-tingkatan dalam partisipasi politik ? beberapa pertanyaan ini merupakan hal-hal mendasar yang harus dijawab untuk mendapat kejelasan tentang konsep partisipasi politik.

Hal pertama yang harus dijawab berkenaan dengan kejelasan konsep partisipasi politik. Beberapa sarjana yang secara khusus berkecimpung dalam ilmu politik, merumuskan beberapa konsep partisipasi politik, yang disampaikan dalam tabel berikut :

Sarjana


Konsep


Indikator

Kevin R. Hardwick


Partisipasi politik memberi perhatian pada cara-cara warga negara berinteraksi dengan pemerintah, warga negara berupaya menyampaikan kepentingan-kepentingan mereka terhadap pejabat-pejabat publik agar mampu mewujudkan kepentingan-kepentingan tersebut.


· Terdapat interaksi antara warga negara dengan pemerintah

· Terdapat usaha warga negara untuk mempengaruhi pejabat publik.

Miriam Budiardjo


Partisipasi politik adalah kegiatan seseorang atau sekelompok orang untuk ikut serta secara aktif dalam kehidupan politik, dengan jalan memilih pimpinan negara, dan secara langsung atau tidak langsung mempengaruhi kebijakan pemerintah (public policy).


· Berupa kegiatan individu atau kelompok

· Bertujuan ikut aktif dalam ke-hidupan politik, memilih pim-pinan publik atau mempenga-ruhi kebijakan publik.

Ramlan Surbakti


Partisipasi politik ialah keikutsertaan warga negara biasa dalam menentukan segala keputusan menyangkut atau mempengaruhi hidupnya.

Partisipasi politik berarti keikutsertaan warga negara biasa (yang tidak mempunyai kewenangan) dalam mempengaruhi proses pembuatan dan pelaksanaan keputusan politik.


· Keikutsertaan warga negara dalam pembuatan dan pelaksanaan kebijakan publik

· Dilakukan oleh warga negara biasa

Michael Rush dan Philip Althoft


Partisipasi politik adalah keterlibatan individu sampai pada bermacam-macam tingkatan di dalam sistem politik.


· Berwujud keterlibatan individu dalam sistem politik

· Memiliki tingkatan-tingkatan partisipasi

Huntington dan Nelson


Partisipasi politik ... kegiatan warga negara preman (private citizen) yang bertujuan mempengaruhi pengambilan kebijakan oleh pemerintah.


· Berupa kegiatan bukan sikap-sikap dan kepercayaan

· Memiliki tujuan mempengaruh kebijakan publik

· Dilakukan oleh warga negara preman (biasa)

Herbert McClosky


Partisipasi politik adalah kegiatan-kegiatan sukarela dari warga masyarakat melalui mana mereka mengambil bagian dalam proses pemilihan penguasa, dan secara langsung atau tidak langsung, dalam proses pembentukan kebijakan umum.


· Berupa kegiatan-kegiatan sukarela

· Dilakukan oleh warga negara

· Warga negara terlibat dalam proses-proses politik

Berdasarkan beberapa defenisi konseptual partisipasi politik yang dikemukakan beberapa sarjana ilmu politik tersebut, secara substansial menyatakan bahwa setiap partisipasi politik yang dilakukan termanifestasikan dalam kegiatan-kegiatan sukarela yang nyata dilakukan, atau tidak menekankan pada sikap-sikap. Kegiatan partisipasi politik dilakukan oleh warga negara preman atau masyarakat biasa, sehingga seolah-olah menutup kemungkinan bagi tindakan-tindakan serupa yang dilakukan oleh non-warga negara biasa.

sumber : http://mjieschool.multiply.com/journal/item/30/BUDAYA_POLITIK?&show_interstitial=1&u=%2Fjournal%2Fitem

SOSIALISASI POLITIK

A. PENGANTAR
Upaya perintisan awal untuk mengkaji proses sosialisasi politik dilakukan oleh Charles E. Merriem, dalam buku suntingannya "The Making of Citizens: A Comparative Study of Civic Training". Sosialisasi politik dalam beberapa hal merupakan konsep kunci dari sosiologi politik:
a. Ketiga konsep lain yaitu partisipasi, rekruitmen dan komunikasi berkaitan erat dengan sosialisasi politik dimana partisipasi dan rekruitmen merupakan variable-variabel dipenden yang parsial dari sosialisasi dan komunikasi karena keduanya menyajikan elemen dinamis dalam sosialisasi.
b. Sosialisasi politik memperlihatkan interaksi dan interdependensi perilaku social dan perilaku politik.
c. Sebagai akibat wajar yang penting dari interaksi dan interdependensinya, ia menunjukkan interdependensinya dari ilmu-ilmu social pada umumnya, sosiologi dan ilmu politik khususnya.

Beberapa aspek penting dari sosialisasi:
a. Sosilaisasi secara fundamental merupakan proses hasil belajar
b. Memberikan indikasiumum hasil belajar tingkah laku individu dalam batas-batas yang luas dan lebih khusus lagi berkenaan dengan pengetahuan atau informasi, motif-motif atau nilai dan sikap.
c. Sosialisasi tidak perlu dibatasi sampai pada usia kanak-kanak dan masa remaja saja akan tetapi sosialisasi tetap berlanjut sepanjang kehidupan.
d. Sosialisasi merupakan prakondisi yang diperlukan bagi aktivitas social dan baik secara implicit maupun eksplisit memberikan penjelasan mengenai tingkah laku sosial.

B. PENGERTIAN SOSIALISASI POLITIK
Sosialisasi politik adalah cara-cara belajar seseorang terhadap pola-pola sosial yang berkaitan dengan posisi-posisi kemasyarakatan seperti yang diketengahkan melalui bermacam-macam badan masyarakat.
Almond dan Powell, sosialisasi politik sebagai proses dengan mana sikap-sikap dan nilai-nilai politik ditanamkan kepada anak-anak sampai metreka dewasa dan orang-orang dewasa direkrut ke dalam peranan-peranan tertentu.
Greenstein dalam karyanya "International Encyolopedia of The Social Sciences" 2 definisi sosialisasi politik:
a. Definisi sempit, sosialisasi politik adalah penanaman informasi politik yang disengaja, nilai-nilai dan praktek-praktek yang oleh badan-badan instruksional secara formal ditugaskan untuk tanggung jawab ini.
b. Definisi luas, sosialisasi politik merupakan semua usaha mempelajari politik baik formal maupun informal, disengaja ataupun terencana pada setiap tahap siklus kehidupan dan termasuk didalamnya tidak hanya secara eksplisit masalah belajar politik tetapi juga secara nominal belajat bersikap non politik mengenai karakteristik-karakteristik kepribadian yang bersangkutan.
Easton dan Denuis, sosialisasi politik yaitu suatu proses perkembangan seseorang untuk mendapatkan orientasi-orientasi politik dan pola-pola tingkah lakunya.
Almond, sosialisasi politik adalah proses-proses pembentukan sikap-sikap politik dan pola-pola tingkah laku.
Proses sosialisasi dilakukan melalui berbagai tahap sejak dari awal masa kanak-kanak sampai pada tingkat yang paling tinggi dalam usia dewasa. Sosialisasi beroperasi pada 2 tingkat:
a. Tingkat Komunitas
Sosialisasi dipahami sebagai proses pewarisan kebudayaan, yaitu suatu sarana bagi suatu generasi untuk mewariskan nilai-nilai, sikap-sikap dan keyakinan-keyakinan politik kepada generasi berikutnya.
b. Tingkat Individual
Proses sosialisasi politik dapat dipahami sebagai proses warga suatu Negara membentuk pandangan-pandangan politik mereka.
Dalam konsep Freud, individu dilihat sebagai objek sosilaisasi yang pasif sedangkan Mead memandang individu sebagai aktor yang aktif, sehingga proses sosialisasi politik merupakan proses yang beraspek ganda. Di satu pihak, ia merupakan suatu proses tertutupnya pilihan-pilihan perilaku, artinya sejumlah kemungkinan terbuka yang sangat luas ketika seorang anak lahir menjadi semakin sempit sepanjang proses sosialisasi. Di lain pihak, proses sosialisasi bukan hanya merupakan proses penekanan jati diri melainkan juga merupakan proses pembentukan anak menjadi mahluk social dengan cara membuka suatu dataran luas kemungkinan perkembnagan jati diri.

C. AGEN SOSIALISASI POLITIK
1. Keluarga
Merupakan agen sosialisasi pertama yang dialami seseorang. Keluarga memiliki pengaruh besar terhadap anggota-anggotanya. Pengaruh yang paling jelas adalah dalam hal pembentukan sikap terhadap wewenang kekuasaan. Bagi anak, keputusan bersama yang dibuat di keluarga bersifat otoritatif, dalam arti keengganan untuk mematuhinya dapat mendatangkan hukuman. Pengalaman berpartisipasi dalam pembuatan keputusan keluarga dapat meningkatkan perasaan kompetensi politik si anak, memberikannya kecakapan-kecakapan untuk melakukan interaksi politik dan membuatnya lebih mungkin berpartisipasi secara aktif dalam sistem politik sesudah dewasa.
2. Sekolah
Sekolah memainkan peran sebagai agen sosialisasi politik melalui kurikulum pengajaran formal, beraneka ragam kegiatan ritual sekolah dan kegiatan-kegiatan guru.
Sekolah melalui kurikulumnya memberikan pandangan-pandangan yang kongkrit tentang lembaga-lembaga politik dan hubungan-hubungan politik. Ia juga dapat memegang peran penting dalam pembentukan sikap terhadap aturan permainan politik yang tak tertulis. Sekolah pun dapat mempertebal kesetiaan terhadap system politik dan memberikan symbol-simbol umum untuk menunjukkan tanggapan yang ekspresif terhadap system tersebut.
Peranan sekolah dalam mewariskan nilai-nilai politik tidak hanya terjadi melalui kurikulum sekolah. Sosialisasi juga dilakukan sekolah melalui berbagai upacara yang diselenggarakan di kelas maupun di luar kelas dan berbagai kegiatan ekstra yang diselenggarakan oleh OSIS.
3. Kelompok Pertemanan (Pergaulan)
Kelompok pertemanan mulai mengambil penting dalam proses sosialisasi politik selama masa remaja dan berlangsung terus sepanjang usia dewasa. Takott Parson menyatakan kelompok pertemanan tumbuh menjadi agen sosialisasi politik yang sangat penting pada masa anak-anak berada di sekolah menengah atas. Selama periode ini, orang tua dan guru-guru sekolah sebagai figur otoritas pemberi transmitter proses belajar sosial, kehilangan pengaruhnya. Sebaliknya peranan kelompok-kelompok klik, gang-gang remaja dan kelompok-kelompok remaja yang lain menjadi semakin penting. Pengaruh sosialisasi yang penting dari kelompok pertemanan bersumber di dalam factor-faktor yang membuat peranan keluarga menjadi sangat penting dalam sosialisasi politik yaitu:
a. Akses yang sangat ekstensif dari kelompok-kelompok pertemanan terhadap anggota mereka.
b. Hubungan-hubungan pribadi yang secara emosional berkembang di dalamnya.
Kelompok pertemanan mempengaruhi pembentukan orientasi politik individu melalui beberapa cara yaitu:
a. Kelompok pertemanan adalah sumber sangat penting dari informasi dan sikap-sikpa tentang dunia social dan politik. Kelompok pertemanan berfungsi sebagai “communication channels”.
b. Kelompok pertemanan merupakn agen sosialisasi politik sangat penting karena ia melengkapi anggota-anggotanya dengan konsepsi politik yang lebih khusus tentang dunia politik.
c. Mensosialisasi individu dengan memotivasi atau menekan mereka untuk menyesuaikan diri dengan sikap-sikap dan perilaku yang diterima oleh kelompok. Di satu pihak, kelompok pertemanan menekan individu untuk menerima orientasi-orientasi dan perilaku tertentu dengna cara mengancam memberikan hukuman kepada mereka yang melakukan penyimpangan terhadap norma-norma keluarga, seperti melecehkan atau tidak menaruh perhatian kepad amereka yang menyimpang.
4. Pekerjaan
Organisasi-organisasi formal maupun non formal yang dibentuk berdasarkan lingkungan pekerjaan, seperti serikat buruh, klub social dan yang sejenisnya merupakan saluran komunikasi informasi dan keyakinan yang jelas.
5. Media Massa
Media massa seperti surat kabar, radio, majalah, televise dan internet memegang peran penting dalam menularkan sikap-sikap dan nilai-nilai modern kepada bangsa-bangsa baru merdeka. Selain memberikan infoprmasi tentang informasi-informasi politik, media massa juga menyampaika nilai-nili utama yang dianut oleh masyarakatnya.
6. Kontak-kontak Politik Langsung
Tidak peduli betapa positifnya pandangan terhadap system poltik yang telah ditanamkan oleh eluarga atau sekolah, tetapi bila seseorang diabaikan oleh partainya, ditipu oleh polisi, kelaparan tanpa ditolong, mengalami etidakadilan, atau teraniaya oleh militer, maka pandangan terhadap dunia politik sangat mungkin berubah.

D. METODE SOSIALISASI POLITIK ( oleh Rush dan Althoff)
1. Imitasi
Peniruan terhadap tingkah laku individu-individu lain. Imitasi penting dalam sosialisasi masa kanak-kanak. Pada remaja dan dewasa, imitasi lebih banyakbercampur dengan kedua mekanisme lainnya, sehingga satu derajat peniruannya terdapat pula pada instruksi mupun motivasi.
2. Instruksi
Peristiwa penjelasan diri seseornag dengan sengaja dapat ditempatkan dalam suatu situasi yang intruktif sifatnya.
3. Motivasi
Sebagaimana dijelaskan Le Vine merupakan tingkah laku yang tepat yang cocok yang dipelajari melalui proses coba-coba dan gagal (trial and error).

Jika imitasi dan instruksi merupakan tipe khusus dari pengalaman, sementara motivasi lebih banyak diidentifikasikan dengan pengalaman pada umumnya.
Sosialisasi politik yang selanjutnya akan mempengaruhi pembentukan jati diri politik pada seseorang dapat terjadi melalui cara langsung dan tidak langsung. Proses tidak langsung meliputi berbagai bentuk proses sosialisasi yang pada dasarnya tidak bersifat politik tetapi dikemudian hari berpengatuh terhadap pembentukan jati diri atau kepribadian politik. Sosialisasi politik lnagsung menunjuk pada proses-proses pengoperan atau pembnetukan orientasi-orientasi yang di dalam bentuk dan isinya bersifat politik.

Proses sosialisasi politik tidak langsung meliputi metode belajar berikut:
1. Pengoperasian Interpersonal
Mengasumsikan bahwa anak mengalami proses sosialisasi politik secara eksplisitdalam keadaan sudah memiliki sejumlah pengalaman dalam hubungna-hubungan dan pemuasan-pemuasan interpersonal.
2. Magang
Metode belajat magang ini terjadi katrna perilau dan pengalaman-pengalaman yang diperoleh di dalam situasi-situasi non politik memberikan keahlian-keahlian dan nilai-nilai yang pada saatnya dipergunakan secara khusus di dalam konteks yang lebih bersifat politik.
3. Generalisasi
Terjadi karena nilai-nilai social diperlakukan bagi bjek-objek politik yang lebih spesifik dan dengan demikian membentuk sikap-sikap politik terentu.

Proses sosialisasi langsung terjadi melalui:
1) Imitasi
Merupakan mode sosiaisasi yang paling ekstensif dan banyak dialami anak sepanjang perjalanan hidup mereka. Imitasi dapat dilakukan secara sadar dan secara tidak sadar.
2) Sosialisasi Politik Antisipatoris
Dilakukan untuk mengantisipasi peranan-peranan politik yang diinginkan atau akan diemban oleh actor. Orang yang berharap suatu ketika menjalani pekerjaan-pekerjaan professional atau posisi social yang tinggi biasanya sejak dini sudah mulai mengoper nilai-nilai dan pola-pola perilaku yang berkaitan dengan peranan-peranan tersebut.
3) Pendidikan Politik
Inisiatif mengoper orientasi-orientasi politik dilakukan oleh “socialiers” daripada oleh individu yang disosialisasi. Pendidikan politik dapat dilakukan di keluarga, sekolah, lembaga-lembaga politik atau pemerintah dan berbagai kelompok dan organisasi yang tidak terhitung jumlahnya. Pendidikan politik sangat penting bagi kelestarian suatu system politik. Di satu pihak, warga Negara memerukan informasi minimaltentang hak-hak dan kewajiban yang mereka mliki untuk dapat memasuki arena kehidupan politik. Di lain pihak, warga Negara juga harus memperoleh pengetahuan mengenai seberapa jauh hak-hak mereka telah dipenuhi oleh pemerintah dan jika hal ini terjadi, stabilitas politik pemerintahan dapat terpelihara.
4) Pengalaman Politik
Kebanyakan dari apa yang oleh seseorang diketahui dan diyakini sebagai politik pada kenyataannya berasal dari pengamatan-pengamatan dan pengalamn-pengalamannya didalam proses politik.

sumber http://noe2ngpoenya.blogspot.com/2008/05/sosialisasi-politik-matkulsosiologi.html

Jumat, Mei 28, 2010

ANARKISME DALAM DEMONSTRASI

BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Di awal tahun 2010 ini terjadi serangkaian aksi demonstrasi di berbagai daerah di Indonesia, aksi demonsrasi tersebut melibatkan berbagai elemen masyarakat yang terdiri dari mahasiswa buruh dan masyarakat umum, isu yang banyak di bawa oleh para demonstran adalah kecaman terhadap 100 hari pemerintahan SBY-Boediono yang di anggap gagal dan juga kasus Bank Century yang tak kunjung usai.
Demonstrasi selalu mengiringi perjanalan bangsa Indonesia mulai sebelum Indonesia merdeka, Orde lama, Orde baru hingga era Reformasi, bahkan beralihnya Orde lama ke era Reformasi adalah hasil perjuangan dari para demonstran, demo pada masa ini adalah demo terbesar sepanjang sejarah berdirinya Indonesia, bahkan hingga di warnai dengan insiden penembakan oleh aparat, yang mengakibatkan jatuhnya korban jiwa, namun akhirnya perjuangan itupun berhasil dan hasil perjuangan itu adalah era reformasi. Mulai era reformasi hingga sekarang demo masih tetap bermunculan, demo sesalu muncul ketika ada permasalahan yang muncul sepertihalnya di awal tahun 2010 ini.
Sebagai negara yang Demokrasi pelaksanaan demonstrasi tentunya di anggap sebuah hal yang wajar , karena dalam demokrasi Negara harus mengakui, melaksanakan serta melindungi adanya Hak Azasi Manusia (HAM) , HAM sendiri terdiri atas beberapa macam, salah satunya adalah hak untuk mengemukakan pendapat yang diatur dalam Undang-undang Dasr 1945 pasal 28 yang berbunyi “ bahwa kemerdekaan berserikat dan berkumpul mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan di tetapkan dengan undang-undang” Demo merupakan salah satu perwujudan dari hak untuk mengeluarkan pendapat, demo masih di anggap sah apabila masih berada pada alur yang benar, berjalan tertib, tidak menggunakan kekerasan atau anarkisme serta tidak melanggar peraturan yang ada.
Akan tetapi tidak demikian dengan demo yang terjadi pada di awal tahun 2010 ini, masyarakat seolah menganggap demo sebagai wahana atau tempat untuk menghina, mencaci dan memaki Presiden, Wakil presiden dan para pejabat pemerintahan lainnya, tentunya masih ingat di benak kita dengan kata-kata “ SBY maling, Budiano maling, sri mulyani maling” kata itu keluar saat demonstrasi Pasca 100 hari SBY- Budiono, tulisan seperti itu juga ada dalan sepanduk- sepanduk para demonstran. Tak hanya itu bahkan pada saat itu juga terdapat berbagai tindakan lain seperti Merusak atau merobek Foto presiden, meng injak- injak membakarnya bahkan hingga menyamakan SBY seperti Kerbau dan menempelkan gambar SBY di pantat kerbau, tindakan ini tentunya bukanlah mencerminkan masyarakat yang demokratis, tetapi lebih mencerminkan masyarakat yang buta akan demokrasi, yang tak pernah menghiraukan semua peraturan yang ada, perbuatan tersebut jelaslah tidak di benarkan oleh Hukum.
Menurut Prof.Amien Rais, Mantan Ketua MPR, mengatakan, aksi demo dengan membawa kerbau merupakan tindakan tidak bermoral (amoral). “Orang demo bawa kerbau, dan menyatakan ini cocok dengan tokoh ini. Hal ini sudah tidak bermoral” (http://www.kompas.com, edisi 08/02/2010 : Diakses 02/03/2010)
Kita bisa melihat pada Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP) Pasal 207 ayat (1) yang berbunyi :
Barang siapa menyiarkan, mempertunjukakan, atau menempelkan, dimuka umum tulisan atau lukisan yang berisi penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden dengan maksud supaya isi yang menghina di ketahui oleh umum, di ancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau pidana denda paling banyak tiga ratus rupiah” kemudian pasal 207 “ barag siapa dengan sengaja di muka umum dengan lisan atau tulisan menghina suatu penguasa atau badan umum yang ada di Indonesia, di ancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun enam bulan atau denda paling banyak tiga ratus rupuah”
Dari bunyi kedua pasal tersebut jelaslah bahwa tindakan Demonstan di atas sangat bertentangan hukum. Lebih lanjut mengenai kemerdekaan mengemukakan pendapat di atur Dalam UU No. 9 tahun 1998, namun kebebasan bukan di artikan bebas sebebas- bebasnya, atau bebas tanpa batas, pengungkapan pendapat harus tetap menghormati hak-hak orang lain, menghormati dan mematuhi aturan yang berlaku, menjaga ketertiban serta menjaga keutuhan persatuan dan kesatuan bangsa, tetapi demonstrasi yang terjadi di awal tahun 2010 ini sepertinya tidak memperdulikan semua itu, lalu mengapa demonstran melakukan tikan seperti itu. Inilah yang membuat penulis tertarik untuk mengankat judul “ANARKISME DALAM DEMONSTRASI”. Makalah ini akan membahas peyebab terjadinya anarkisme dalam demonstrasi yang terjadi di Indonesia pada awal tahun 2010.


1.2. Rumusan masalah
Dari latar belakang di atas maka dapat di ambil rumusan masalah sebagai berikut :
1.2.1. Mengapa para demonstran melakukan berbagai tindakan anarkis dalam demnstrasi ?
1.2.2. Bagaimana seharusnya tata cara Demonstrasi yang benar ?
1.3 Tujuan
Dari latar belakang serta rumusan masalah di atas maka tujuan penulisan makalah ini dapat di simpulkan sebagai berikut
1.3.1. Mengetahui faktor tindakan anarkis dalm demonstrasi.
1.3.2. Mengetahui bagaimana cara mengemukakan pendapat sesuai dengan aturan yang berlaku.
1.4 Manfaat
1.4.1. Manfaat Teoritis
Makalah ini diharapkan dapat memberikan masukan kepada para pihak terkait masalah demonstrasi.
1.4.2. Manfaat praktis
Dengan ditulisnya makalah ini semoga dapat memberikan wawasan kepada mahasiswa atau masyarakat tentang tata cara demonstrasi yang benar sesuai dengan aturan yang berlaku, sehingga Demonstrasi tidak menjadikan demonstrasi sebagai wahana untuk menyalurkan emosi, tetapi untuk menyalurkan aspirasi berupa kritikan yang bersifat membangun, yang mewakili aspirasi masyakat luas, sehingga masyarakat tidak menganggap demonstrasi sebagai kegiatan yang buruk.



BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Kajian tentang perilaku anarkisme
2.1.1 Pengertian perilaku anarkis
Sebelum mengetahui makna prilaku anarkia kita perlu mengetahui makna dari prilaku dan juga makna anarkisme. Perilaku merupakan aktifitas yang di lakukan manusia dengan motif dan tujuan tertentu. Perilaku yang dilakukan oleh manusia bisa dipengaruhi faktor dari dalam serta faktor dari luar diri manusia. Baik buruknya perilaku ditentukan oleh baik atau buruknya faktor yang mempegaruhinya. Baik buruknya perilaku juga di pengaruhi kondisi fikiran seseorang ketika dia sedang menampilkan prilaku tersebut. Jadi prilaku manusia akan muncul sebagai hasil atau realisasi dari apa yang ada dalam fikiran manusia dengan motif dan tujuan tertentu.
Perilaku manusia adalah suatu aktivitas manusia itu sendiri, Secara operasional, perilaku dapat diartikan suatu respons organisme atau seseorang terhadap rangsangan dari luar subjek tersebut. Perilaku juga bisa diartikan sebagai suatu aksi-reaksi organisme terhadap lingkungannya. Perilaku baru terjadi apabila ada sesuatu yang diperlukan untuk menimbulkan reaksi, yakni yang disebut rangsangan. Berarti rangsangan tertentu akan menghasilkan reaksi atau perilaku tertentu. Notoatmojo,S,1997:58-60 (dalam http://syakira-blog.blogspot.com /2009/01/konsep-perilaku.html di akses 12 Maret 2010).
Perilaku adalah tindakan atau perilaku suatu organisme yang dapat diamati dan bahkan dapat di pelajari. Robert Kwik, 1974, sebagaimana dikutip oleh Notoatmojo,S1997 (dalam http://syakirablog.blogspot.com/2009/01/konsep-perilaku.html di akses 12 Maret 2010).
Kata anarki merupakan kata serapan dari bahasa Inggris anarchy atau anarchie (Belanda/Jerman/Prancis), yang berakar dari kata Yunani Anarchos/anarchein = tanpa pemerintahan atau pengelolaan dan koordinasi tanpa hubungan memerintah dan diperintah, menguasai dan dikuasai, mengepalai dan dikepalai, mengendalikan dan dikendalikan, dan lain sebagainya. Sedangkan Anarkis berarti orang yang mempercayai dan menganut anarki. Sedangkan isme sendiri berarti paham/ajaran/ideologi.
Jadi anarkisme adalah paham atau pendirian yang percaya bahwa manusia sebagai anggota masyarakat akan membawa pada manfaat terbaik bagi semua jika tidak diperintah maupun adanya otoritas. Paham ini merupakan keyakinan bahwa manusia adalah makhluk yang bisa hidup berdampingan dengan manusia lain tanpa adanya pemilik otoritas atau penguasa. anarkisme menganjurkan kolektifitas atas kebebasan individu, ketiadaan suatu negara dan semua bentuk penindasan, dan juga teori-teori sosialis yang mana juga menganjurkan penghapusan paham kapitalisme dan kepemilikan pribadi demi tujuan kapitalistik, anarkisme memfokuskan pada kolektifitas kerjasama dan bantuan kebersamaan.
Dari pandangan ini kaum anarkis menganggap semua bentuk otoritas dan symbol otoritas harus dilawan. Kebanyakan kaum anarkis melegalkan kekerasan dalam melawan otoritas. Mungkin inilah yang menyebabkan kata anarkis diidentikkan dengan perbuatan melawan hukum, walaupun sebenarnya kekerasan bisa dilakukan oleh siapa saja bukan hanya milik kaum anarkis. Anarkisme meliputi pandangan yang sangat luas dari anarkisme kiri sampai ekstrim kiri yang berwatak sosialis sampai anarkisme kanan dan ekstrim kanan yang berwatak individualis. Perbedaan ini berdasarkan dari latar belakang tokoh,peristiwa yang terjadi dan juga tempat dimana aliran itu berkembang. http://www.wikimu.com/News/ArtiAnarkisme. aspx?id=13065
Dari uraian tentang perilaku dan anarkisme diatas maka penulis dapat menyimpulkan bahwa perilaku anarkis adalah aktifitas yang dilakukan oleh manusia dengan motif dan tujuan tertentu yang mengarah pada kekerasan dan tindakan yang melawan hukum. Perilaku anarkis bisa di pengaruhi oleh faktor dari dalam dan dari luar diri manusia. Contoh faktor dari dalam adalah kondisi fikiran manusia itu ketika dia melakukan tindakan, sedangkan faktor dari luarnya adalah lingkungan dan teman. Lingkungan di sini bisa di maknai sebagai lingkungan dimana manusia tinggal yang mana jika manusia sejak kecil hingga dewasa hidup pada lingkungan yang terdapat kekerasan dan kejahatan maka sedikit banyak manusia itu akan terpengaruh. Faktor dari luar yang lain yaitu pertemanan, manusia yang awalnya baik jika tidak bisa menjaga diri dalam pertemanan maka bisa terpengaruh oleh sifat-sifat negative yang ada dalam pergaulan.
Dari beberapa kutipan yang di kemukakan oleh beberapa ahli di atas penulis lebih condong kepada pendapat Notoatmojo,S, yang menjelaskan perilaku sebagai suatu aksi-reaksi organisme terhadap lingkungannya, Perilaku baru terjadi apabila ada sesuatu yang diperlukan untuk menimbulkan reaksi, yakni yang disebut rangsangan. Berarti rangsangan tertentu akan menghasilkan reaksi atau perilaku tertentu. Demonstrasi yang banyak terjadi di awal tahun 2010 ini adalah reaksi dari berbagi kasus yang muncul, diantaranya adalah kasus Bank Century yang tak kunjung tuntas dan kinerja 100 hari pemerintahan yang di anggap gagal.
2.2 Kajian tentang demonstrasi
Menurut UU No. 9 Tahun 1998 pasal 1 ayat 9 (1) Unjuk rasa atau Demonstrasi adalah kegiatan yang dilakukan oleh seorang atau lebih untuk mengeluarkan pikiran dengan lisan, tulisan, dan sebagainya secara demonstratif di muka umum.
Bobby Savero (2008) Demonstrasi adalah tindakan untuk menyampaikan penolakan, kritik, ketidakberpihakan, mengajari hal-hal yang dianggap sebuah penyimpangan. Unjuk rasa biasanya dilakukan untuk menyatakan pendapat kelompok tersebut atau penentang kebijakan yang dilaksanakan suatu pihak atau dapat pula dilakukan sebagai sebuah upaya penekanan secara politik oleh kepentingan kelompok. Unjuk rasa umumnya dilakukan oleh kelompok mahasiswa yang menentang kebijakan pemerintah, atau para buruh yang tidak puas dengan perlakuan majikannya. Namun unjuk rasa juga dilakukan oleh kelompok-kelompok lainnya dengan tujuan lainnya.Unjuk rasa kadang dapat menyebabkan pengrusakan terhadap benda-benda. Hal ini dapat terjadi akibat keinginan menunjukkan pendapat para pengunjuk rasa yang berlebihan.




BAB III
MACAM-MACAM TINDAKAN ANARKIS DALAM DEMONSTRASI
3.1 Kebebasan dalam Demokrasi
Seluruh rakyat Indonesia menjadi saksi bahwa di awal tahun 2010 ini terjadi serangkaian aksi demonstrasi di berbagai daerah di Indonesia, aksi demonsrasi tersebut melibatkan berbagai elemen masyarakat yang terdiri dari mahasiswa buruh dan masyarakat umum yang sebagian besar memberikan kecaman terhadap 100 hari pemerintahan SBY-Boediono yang di anggap gagal. Isu kedua yang banyak di angkat para demonstran yaitu kasus Bank Century yang tak kunjung selesai. Berbagai aksi demo dilakukan masyarakat di berbagai daerah dan hampir semuanya diwarnai tindakan amoral hingga berujung pada tindakan anarkis.
Sebagai negara demokrasi, pelaksanaan demonstrasi tentunya di anggap sebuah hal yang wajar , karena dalam demokrasi Negara harus mengakui, melaksanakan serta melindungi adanya Hak Azasi Manusia (HAM). HAM sendiri terdiri atas beberapa macam, salah satunya adalah hak untuk mengemukakan pendapat yang diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal 28 yang berbunyi “ bahwa kemerdekaan berserikat dan berkumpul mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan ditetapkan dengan undang-undang” Demo merupakan salah satu perwujudan dari hak untuk mengeluarkan pendapat. Demo masih di anggap sah apabila masih berada pada alur yang benar, berjalan tertib, tidak menggunakan kekerasan atau anarkisme serta tidak melanggar peraturan yang ada.
Dalam Undang-undang No. 9 Tahun 1998 pasal 1 ayat (1) di tegaskan bahwa “Kemerdekaan menyampaikan pendapat adalah hak setiap warga negara untuk menyampaikan pikiran dengan lisan, tulisan, dan sebagainya secara bebas dan bertanggung jawab sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku” dalam pasal ini termuat kalimat “sesuai dengan aturan yang berlaku”. Artinya walaupun warga negara mempunyai kebebasan yang di jamin dan di lindungi oleh negara, warga negara tidak bisa mengekspresikan kebebasan itu dengan sebebas- bebasnya, tetapi harus tetap mentaati aturan hukum yang ada.
Akan tetapi tidak demikian dengan demonstasi yang terjadi pada demo 100 hari pemerintahan SBY-Boediono di awal tahun 2010 ini, ternyata masyarakat masih mengunakan kebebasan merka secara berlebihan dan tidak sesuai dengan aturan hukum yang ada di Indonesia. Hal ini menyebabkan demonstrasi kehilangan relvansinya. Demo yang semula dijadikan simbol kebebasan dalam demokrasi jutru malah mencederai nilai-nilai demokrasi. Seperti yang telah dikemukakan di atas dalam, demokrasi sanggat menjunjung tinggi kebebasan, namun kebebasan disini bukan dalam arti kebebasan tanpa batas. Kebebasan tetap harus pada jalur yang benar, sesuai dengan aturan hukum yang berlaku. Kebesan dalam demonstrasi yang terjadi pada awal tahun 2010 ini sama sekali tidak mencerminkan kebebasan dalam demokrasi, tetapi lebih mencerminkan tindakan yang mencederai demokrasi. Berikut ini adalah contoh tindakan anarkis dalam demonstrasi

3.2 Anarkisme dalam demonstrasi di berbagai daerah
3.1.1 Membakar foto presiden Susilo Bambang Yudoyono dan wakil Presiden Boediono
Di Pekanbaru - Belasan mahasiswa Makassar, Sulawesi Selatan (Sulsel), membakar foto Presiden SBY dan Wakil Presiden Boediono. Para mahasiswa ini kecewa dengan kinerja 100 hari pemerintahan SBY-Boediono. Aksi pembakaran foto kepala negara itu dilakukan para mahasiswa yang menamakan diri Front Mahasiswa Makassar Anti Rezim SBY saat menggelar jumpa pers di Kafe Metro, Jl Pelita Raya, Makassar (26/1/2010). Koordinator Front Mahasiswa Makassar, Rizal, mengaku kecewa dengan kinerja 100 hari pemerintahaan SBY-Boediono. "Dalam 100 hari pemerintahannya, tidak ada satupun hal yang baik dilakukan oleh presiden kita, contohnya bisa kita lihat dalam sikapnya atas kasus Bank Century," ujar Rizal. Muhammad Nur Abdurrahman dalam http://www.detiknews.com, Edisi 26/01/2010 Diakses 02/03/2010 )
Aksi yang sama juga terjadi di jakarta pusat, Poster bergambar Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Wakil Presiden Boediono, dan Menteri Keuangan Sri Mulyani, dibakar para aktivis yang menamakan organisasinya Benteng Demokrasi Rakyat. Aksi ini berlangsung di depan markas mereka di Jalan Diponegoro, Jakarta Pusat. Mereka melakukan aksi pembakaran poster karena mengaku kecewa dengan pencapaian program prioritas kerja 100 hari pertama dalam kepemimpinan presiden dan wakil presiden yang terpilih di Pemilihan Umum 2009 itu. Para aktivis menganggap pemerintah telah gagal dalam bidang penanganan korupsi, hukum, dan kesejahteraan rakyat. Selain membakar poster-poster, para aktivis yang jumlahnya tak kurang dari 60 orang ini juga membentangkan spanduk dan poster yang isinya berupa kecaman. Kemudian juga tuntutan agar Presiden dan Wakil Presiden mundur dari kursi jabatan.
3.1.2 Merobek foto Presiden Susilo Bambang Yudoyono dan Wapres Boediono
Di Purwokerto Beberapa mahasiswa merobek-robek dan menginjak-injak foto presiden dan wakil presiden SBY-Boediono di tengah jalan Jenderal Soedirman Purwokerto dan di depan Kantor DPRD Banyumas, Kamis (28/1/2010). Tak hanya itu, sebelumnya foto SBY-Boediono juga dicoret-coret dengan menggunakan cat semprot. Aksi tak hanya berhenti disitu, para mahasiswa segera berlari ke tengah-tengah Alun-Alun Purwokerto untuk mengibarkan bendera merah putih setengah tiang.Menurut mereka, aksi pengibaran bendera setengah tiang ini dilakukan sebagai simbol kegagalan pemerintahan SBY-Boediono. Dalam orasinya para mahasiswa juga meminta agar SBY-Boediono segera turun dari jabatannya. Mereka menuding jika program 100 hari pemerintahan SBY-Boediono justru menjadi penderitaan bagi 200 juta rakyat Indonesia. Menurut Riki Kurniawan, koordinasi aksi dalam orasinya mengatakan, saat ini kepercayaan rakyat sudah turun terhadap pemerintahan SBY-Boediono terkait masalah Bank Century. Aksi yang digelar untuk mengkritisi pemerintahan SBY-Boediono ini berawal dari Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto.Mahasiswa selanjutnya melakukan longmarch sejauh 5 kilometer menuju Alun-Alun Purwokerto dengan pengawalan ketat aparat kepolisian. Di sepanjang jalan, mereka juga terus meneriakkan yel-yel antipemerintahan SBY-Boediono. Saladin Ayyubi dalam http://news.okezone.com, Edisi28/01/2010 Diakses 02/03/2010 )
3.1.3 Menyamakan Presiden dengan binatang “kerbau”
Di Jakarta Seekor kerbau menjadi pelengkap aksi teatrikal massa yang mengekspresikan aspirasinya di Bundaran Hotel Indonesia, Kamis (28/012/010)untuk menyambut 100 hari pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono. Kerbau berwarna hitam keabu-abuan itu dibawa ke Bundaran HI dengan menggunakan mobil bak terbuka dan diturunkan di pinggir jalan, namun kemudian tidak digiring ke kawasan Bundaran HI, pada tubuh kerbau tersebut terdapat tulisan Sibuya dan di pantat kerbau tersebut di tempelkna foto Presiden Susilo Bambang Yudoyono. Demonstran mengangap bahwa presiden seperti kerbau, meski mempunyai perawakan yang tinggi dan gagah namun tidak mempunyai sikap yang tegas presiden juga di anggap dungu seperti kerbau karena tidak pernah mendengarkan penderitaan rakyat (http://www.antaranews.com) edisi Kamis, 28 Januari 2010 di akses 26 Februari 2010
3.1.4 Bentrok dengan aparat
Sekitar 500 orang demonstran dari Front Oposisi Rakyat Indonesia (FOR Indonesia) bentrok dengan polisi di depan Istana Merdeka, Kamis (28/012/010). Berdasarkan pantauan ANTARA, bentrok terjadi setelah demonstran merangsek maju mendekati pagar Istana Merdeka dengan mendorong polisi yang berjaga. Akibatnya, beberapa orang diamankan oleh polisi, sedangkan di pihak lain, seorang anggota kepolisian terluka di dahinya. Kombes Polisi Tafip Yulianto dari Divisi Propam Mabes Polri, mengakui akibat bentrokan itu petugas Sapmapta Polda Metro Jaya terluka, namun belum ada pengunjuk rasa yang ditahan. Banyaknya para pengunjuk rasa di depan Istana Merdeka, polisi telah menutup Jalan Merdeka Utara dan Merdeka Barat sehingga kendaraan tidak bisa melaluinya (http//:www.antaranews.com)
3.1.5 Merusak fasilitas Negara
Ratusan mahasiswa Universitas Sultan Alauddin Makassar berunjuk rasa dengan merusak fasilitas publik yang berada di sekitar Jalan Sultan Alauddin. Pos polisi yang berada di perempatan Jalan Pettarani dan Sultan Alauddin yang berada di dekat kampus juga menjadi sasaran pengrusakan. Selain memecahkan kaca-kaca, mereka juga menghancurkan perabotan di pos polisi. Aksi anarkis ini merupakan buntut dari insiden kekerasan yang berlangsung di depan secretariat Himpunan Mahasiswa Islam di jalan Bottolempangan Rabu (3/3) malam. Aksi brutal ini dipicu oleh pemukulan polisi terhadap beberapa demonstran, mahasiswa yang saat itu sedang berunjuk rasa dibubarkan aparat kepolisian karena memblokade badan jalan, hingga bentrokan terjadi. Dua mahasiswa ditangkap aparat kepolisian dari peristiwa itu.
Aksi unjuk rasa serupa juga terjadi di depan kampus Universitas Muslim Indonesia dan Universitas Empat Lima. Mahasiswa di kedua kampus tersebut memblokir jalan dengan membakar ban bekas. Akibat aksi ini, hampir sebagian jalur trans Sulawesi lumpuh total. Mahasiswa menuntut DPR agar tetap pada komitmennya melahirkan rekomendasi hukum guna mengusut tuntas skandal Bank Century, tanpa menghiraukan tekanan dari kelompok anti keadilan Iwan Taruna dan Syamsul Al Tiemen (http://www.liputan6.com, edisi 04 Maret 2010 di akses 10 Mei 2010)
3.3 Pendapat para tokoh tentang Demo 100 hari Pemerintahan SBY-Boediono
Pakar hukum tata negara sekaligus staf khusus Presiden Bidang Hukum, HAM & Pemberantasan KKN Denny Indrayana menilai demonstrasi dengan membawa kerbau, membakar foto dan meneriaki maling kepada kepala negara adalah tindak pidana yang bisa diproses sesuai hukum yang berlaku."Demonstrasi dengan kerbau, pembakaran foto, teriakan maling dan sejenisnya sudah dapat dikatakan sebagai bentuk penghinaan, dan karenanya adalah tindak pidana," kata Denny dalam rilis yang diterima detikcom, Minggu (7/2/2010). Lihat Pasal 207 KUHP: Barangsiapa dengan sengaja di muka umum, dengan lisan atau dengan tulisan, menghina suatu penguasa atau badan umum yang ada di Indonesia, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun enam bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah,"
Denny juga menjelaskan perbedaan demonstrasi sebagai hak asasi demokrasi yang menjunjung tinggi kritisisme dan demonstrasi yang mengumbar penghinaan. Ada perbedaan sangat mendasar antara 'mengkritik' dan 'menghina'. Mengkritik memang hak dasar dalam berdemokrasi dan harus dihormati. Mengkritik juga penting untuk kontrol bernegara," papar Denny.Menghina di sisi lain adalah tindak pidana dan dilarang dilakukan atas nama demokrasi sekalipun. Menghina juga tidak boleh dilakukan kepada siapapun, tidak terkecuali - apalagi-penghinaan terhadap penyelenggara negara yang dipilih secara sah melalui pemilu 2009 yang demokratis
Prof.Amien Rais, Mantan Ketua MPR, mengatakan, aksi demo dengan membawa kerbau merupakan tindakan tidak bermoral (amoral).“Orang demo bawa kerbau, dan menyatakan ini cocok dengan tokoh ini. Hal ini sudah tidak bermoral,” kata Amien ketika menyampaikan tausiyah di hadapan ribuan warga Muhammadiyah di Lapangan Imam Bonjol Padang, Sabtu.
Di luar dugaan Prof.Tjipta Lesmana mengemukakan pendapat yang sangat unik dan sangat berbeda dengan Prof.Amin Rais, Dari sisi mitologi mengenai hewan kerbau yang berkembang di daratan China, Dia mengatakan bahwa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mestinya bangga jika dianalogikan sebagai kerbau, Kerbau itu adalah hewan yang paling tangguh, pekerja keras. Tidak ada hewan yang pekerja keras lainnya seperti kerbau. Demikian pula dalam kisah-kisah Jawa banyak cerita yang menggambarkan kerbau sebagai hewan yang memiliki kekuatan dan sulit untuk dikalahkan"( Elvan Dany Sutrisno - http://www.detiknews.com, Edidi 07/02/2010 : Diakses 02/03/2010)
Dari pendapat beberapa tokoh di atas ada perbedaan asumsi mengenai pelaksanaan demonstari 100 hari pemerintahan SBY-Boediono. Prilaku seperti merobek, membakar serta menhina kepala negara sudah jelas itu merupakan tindakaan pidana hal ini dapat kita lihat pada KUHP pasal 207 seperti yang telah di paparkan oleh Denny indrayana di atas. Yang menjadi perdebatan adalah tentang disamakannya SBY seperti kerbau. Menurut Prof. Amien Rais tindakan ini merupakan tindakan Amoral sedangkan menurut Prof. Tjipta Lesmana SBY harus bangga disamakan dengan kerbau, kerena dari sisi mitologi kerbau memiliki makna yang baik. Lalu manakah dari kedua pendapat di atas yang benar ? untuk mengetahui jawaban ini kita bisa menelaah dari sisi demonstran atau apa alasan dibawanya kerbau dalam demo. Seperti yang banyak disampaikan di berbagai media, kerbau yang di libatkan dalam demonstrasi 100 hari adalah melambangkan sikap SBY selama ini. Para demonstran menganalogikan SBY seperti kerbau yang mempunyai badan besar tetapi tidak tegas serta dungu kerena tidak pernah mendengarkan jeritan rakyat, penderitaan serta kesengsaraan rakyat. Jadi yang disamakan dengan SBY bukanlah kerbau yang mempunyai makna baik dari sisi mitologi, namun yang di samakan adalah sifat buruk kerbau di antaranya adalah dungu serta tidak tegas. Dari sini kita dapat melihat bahwa demonstrasi dengan melibatkan kerbau adalah suatu penghinaan terhadap kepala negara dan merupakan tindakan yang tidak bermoral serta melanggar hukum.
3.4 Maraknya demonstrasi di awal tahun 2010
Maraknya demonstrasi 100 hari pemerintahan SBY-Boediono budiono di sebabkan oleh anggapan bahwa SBY di anggap telah gagal dalam melaksanakan program 100 harinya, rakyat menilai bahwa hingga 100 hari pemerintahan berjalan Indonesia belum mengalami perubahan apapun, selain itu rakyat juga kecewa tehadap sikap SBY yang tidak tegas dalam menghadapi persoalan yang terjadi seperti Kasus KPK dengan POLRI dan kasus Bank Century. Tindakan amoral yang dilakukan Demonstran seperti membakar, merobek Foto dan sepanduk bergambar SBY serta menyamakan SBY dengan binatang (Kerbau) adalah wujud kekecewaan rakyat terhadap pemerintahan SBY-Boediono.
Menurut Notoatmojo,S, (1997) Perilaku diartikan sebagai suatu aksi-reaksi organisme terhadap lingkungannya. Perilaku baru terjadi apabila ada sesuatu yang diperlukan untuk menimbulkan reaksi, yakni yang disebut rangsangan. Berarti rangsangan tertentu akan menghasilkan reaksi atau perilaku tertentu, jika kita mengamati domonstrasi barberdasarkan pendapat Notoatmojo (1997) kita dapat menganalisis bahwa yang memicu maraknya demo adalah pemerintahan SBY-Boediono yang di anngap gagal, sedangkan tindakan-tindakan Amoral seperti merobek, membakar foto SBY serta pejabat pemerintahan lainnya adalah wujud kekecewaan Masa terhadap pemerintahan.
Perilaku merupakan aktifitas yang di lakukan manusia dengan motif dan tujuan tertentu, perilaku yang dilakukan oleh manusia bisa di pengaruhi faktor dari dalam serta faktor dari luar diri manusia, baik buruknya prilaku di tentukan oleh baik atau buruknya factor yang mempegaruhinya, baik buruknya perilaku juga di pengaruhi kondisi fikiran seseorang ketika dia sedang menampilkan prilaku tersebut. Jadi prilaku manusia akan muncul sebagai hasil atau realisasi dari apa yang ada dalam fikiran manusia dengan motif dan tujuan tertentu.




BAB IV
FAKTOR TERJADINYA DEMONSTRASI ANARKIS
Ada beberapa factor yang menyebabkan munculnya tindakan anarkis dalam demonstrasi :
4.1 Sikap para demonstran yang menganggap pendapat mereka paling benar dan harus dituruti.
Hal ini bisa kita lihat dalam pelaksanaan demonstrasi, para demonstran menganggap bahwa aspirasi atau pendapat yang mereka suarakan merupakan merupakan aspirasi yang benar, mereka juga menganggap bahwa aspirasi yang mereka suarakan merupakan aspirasi yang mewakili suara hati seluruh rakyat Indonesia, dengan dasar itulah mereka mengaggap bahwa apa yang mereka pikirkan, apa yang mereka ucapkan dan apa yang mereka lakukan merupakan hal yang benar dan mereka menginginkan agar apa yang mereka suarakan bisa terrealisasikan.
Dengan dasar kebenaran ini maka dalam pelaksanaan demonstrasi para demonstran bukan hanya sekedar mengemukakan pendapat namun lebih mengarah pada memaksakan pendapat, sehingga untuk meksakan kehendaknya ini mereka melakukan tindakan anarkis. Jadi tindakan anarkis yang di lakukan merupakan wujud dari pemaksaan kehendak, dengan harapan agar kehendak atau aspirasi yang mereka suarakan di perhatikan.
4.2. Suasana panas, sesak dan penat akan membuat para demonstran cunderung mudah terpancing emosi.
Anarkisme dalam demmonstrasi juga bisa di sebabkan karena situasi ketika demo terjadi, umumnya dalam suatu demonstrasi memerlukan waktu yang tidak sebentar dan dilakukan di siang hari, suasana yang panas, sesak dan penat akan mudah membuat para demonstran untuk terpancing emosinya dan mudah marah. Ketika demonstrasi kondisi fisik dari para anggota juga pasti mengalami kelelahan, dengan kondisi ini jika dalam suasana yang panas atau hujan deras maka akan membuat para demonstran mudah marah, hal ini akan mengakibatkan tindakan anarkis, jika salah satu anggota demonstran melakukan tindakan anarkis maka anggota lain akan mudah tertular untuk melakukan tindakan yang serupa.

4.3 Tidak ada perwakilan yang bersedia menanggapi dan berbicara dengan demonstran.
Ketika ada niat untuk melakukan demonstrasi, tentunya suatu kelompok atau pihak yang akan melakukan demonstrasi sudah mempunyai suatu pandangan, gagasan dan pemikiran yang mereka yakini kebenarannya, inilah yang nantinya akan mereka suarakan dengan harapan apa yang mereka suarakan bisa menjadi kenyataan, atau paling tidak mendapatkan tanggapan dari pihak yang mereka harapkan. Namun banyak kejadian ketika ada demonstrasi tidak ada satupun orang yang bersedia menemui para demonstran untuk berbicara dan member penjelasan, hal ini membuat para demonstran kecewa, marah sehingga melakukan berbagai tindakan anarkis sebagai luapan emosinya.
Solidaritas yang tinggi antara para anggota demonstran.
Dalam suatu demonstrasi umunya, para demonstran memiliki solidaritas yang sangat tinggi antara anggota satu dengan anggota yang lainnya, jika salah satu anggota melakuakan hal yang baik maka kemungkinan besar anggota yang lain akan melakukan hal yang sama, tetapi yang dalam demo selama ini khususnya di awal tahun 2010 ini bukanlah solidaritas yang baik, tetapi lebih mengarah pada solidaritas yang buruk, jika salah satu anggota berteriak SBY malinng, maka yang lain juga akan melakukan hal yang sama.
Salah satu hal yang menyebabkam tindakan anarkis dalam demonstrasi adalah kuatnya solidaritas antara demonstran satu dengan yang alainnya, tindakan anarkis awalnya hanya dilakukan oleh satu atau beberapa orang saja, namun karena para demonstran mempunyai kesamaan visi, misi dan tujuan maka mereka mempunyai solidaritas yang tinggi. Jika salah seorang anggota melakukan tindakan anarkis maka anggota lain akan melakukan hal yang sama, jika salah seorang anggota di amankan oleh pihak kepolisian maka anggota yang lain akan berusaha menyelamatkan rekannya. Hal ini terkadang memicu kerusuhan antara demonstran dengan aparat kepolisian.
4.2 Kerusuhan dalam demo memang sudah di rencanakan
Salah satu faktor yang menyebabkan tindakan anarkis dalam demo yaitu kerusuhan dalam demonstrasi memang sudah di rencanakan sebelumnya, kerusuhan ini biasanya dilakukan oleh lawan politik atau pihak-pihak lain yang tidak suka dengan pemeritahan yang sedang berjalan. Kasus seperti ini sering terjadi di Indonesia, yang paling hangat adalah kasus demonstrasi di Mojokerto, dalam demo di mojokerto beberapa waktu lalu terjadi kerusuhan yang mengakibatkankerugian hingga 1,4 M, demo ini disebabkan karena salah satu kandidat calon bupati tidak diloloskan menjadi calon bupati oleh KPU setempat. Akibatnya para pendukung bupati yang tidak lolos berdemo di depan KPU Mojokerto dan melakukan pengerusakan terhadap fasilitas Negara. Dalam demo ini hampir 100 orang di tahan, dari barang bukti yang berhasil di amankan oleh Polisi bisa di simpulkan bahwa kerusuhan memang sudah di rencanakan.
Kasus serupa juga terjadi pada tanggal 20 Mei 2008, pada saat itu terjadi demonstrasi anarkis dalam rangka kenaikan haraga BBM yang berujung pada kerusuhan, dalam kerusuhan ini terjadi pembakaran Toyota Avansa di depan gedung DPR-RI, demo ini melibatkan sekitar 4000 orang. Dalam kasus ini Ferry Julianto di tuding sebagai dalang kerusuhan, Ferry telah merencanakan demonstrasi sebelumnya dan mengeluarkan biaya sebesar 14 juta rupiah. Dan akhirnya dia di jebloskan kedalam penjara.
Dalam demonsatrasi Century dan juga 100 hari pemerintahan SBY-Budiono, mungkin saja bila tindakan anarkis juga sudah di rencanakan sebelumnya oleh pihak-pihak tertentu. Hal ini mungkin saja di lakukan oleh partai oposisi, karena partai oposisi selalu mengkritisi kebijakan pemerintahan SBY-Budiono. Jika di fikirkan dengan akal sehat kita, tidak mungkin pihak yang Pro dengan kebijakan pemerintah saat ini meneriaki SBY maling, Boediono maling dan Sri Mulyani maling, bahkan hingga menyamakan SBY seperti kerbau. Tindakan seperti ini hanya mungkin dilakukan oleh lawan politik dari SBY yang berasal dari luar Partai Demokrat. Bisa partai oposisi yang selalu menguarkan kritikan dan juga kecaman terhadap pemerintah dan juga bisa juga dilakukan oleh partai mitra koalisi yang memang kecewa dengan sikap pemerintah. Yang jelas tindakan anarkis dalam demonstrasi 100 hari pemerintahan SBY-Boediono dan juga demo Century dilakukan oleh pihak diluar partai Demokrat.

4.4 Adanya provokasi
Setiap demonstrasi tentunya melibatkan banyak orang, hal ini membuat situasi sangat sulit untuk di kontrol dan di kendalikan, selain itu banyaknya demonstran jug sangat rawan dengan provokasi, baik provokasi dari dalam maupun dari luar, provokasi dari dalam biasanya dilakukan oleh salah satu anggota demonstran yang mempunyai kecenderungan prilaku menyimpang dalam kesehariannya, sehingga dimanapun orang tersebut berada maka akan ada potensi untuk rusuh akibat perilaku yang dilakukannya. Lalu provokasi juga munkin dilakukan oleh pihak-pihak dari luar yang menginginkan suasana demo menjadi rusuh. Dalam suatu demonstrasi umumnya pihak atau
Kelompok yang melakukan demo mempunyai visi dan misi yang sama, sehingga dengan kesamaan ini para demonstran cenderung memiliki solidaritas yang tinggi antar sesame anggota. Sehingga jika salah satu anggota melakukan tindakan anarkis maka anggota lain juga akan sangat mudah untuk mengikuti tindakan itu.



4.5 Demonstrasi anarkis menurut tinjauan demokrsi
Plato dalam ajarannya menyatakan bahwa dalam bentuk demokrasi, kekuasan berada di tangan rakyat sehinga kepentingan umum (kepentingan rakyat) lebih diutamakan. Secara prinsipil, rakyat diberi kebebasan dan kemerdekaan. Akan tetapi kemudian rakyat kehilangan kendali, rakyat hanya ingin memerintah dirinya sendiri dan tidak mau lagi diatur sehingga mengakibatkan keadaan menjadi kacau, yang disebut anarki. Nerro ( dalam http://www.forumsains.com )
Hal ini sangat sesuai dengan demonstrasi anarkis yang terjadi di Indonesia saat ini. Dalam demonstrasi para demonstran umumnya tidak hanya mengemukakan pendapat, tetapi pada ujungnya sampai pada tahap memaksakan kehendak dan pendapatnya, yang kemudian mereka melakukan berbagai tindakan anarkis dan amoral dalam memaksakan pendapatnya, yang akhirnya berujung pada kekerasan atau tindakan yang anarkis.




BAB IV
TATA CARA DEMONSTRASI YANG BENAR
Aturan dan tata cara dalam penyampaian pendapat melalui demokrasi Hak untuk mnyampaikan pendapat di muka umum merupakan bagian dari Hak Asasi Manusia yang dijamin dalam Konstitusi Indonesia Hak ini dapat dilaksanakan dalam berbagai bentuk, hal ini di atur dalam pasal (9) UU No. 9 tahun 1998 yaitu :
1. Unjuk rasa atau demonstrasi
2. Pawai
3. Rapat umum, atau
4. Mimbar bebas
Pelaksanaan bentuk-bentuk penyampaian pendapat di muka umum tersebut dapat dilakukan di tempat-tempat terbuka untuk umum, namun ada beberapa tempat yang dikecualikan dan waktu-waktu yang dilarang dalam menyampaikan pendapat di muka umum pasal 9 (2) UU No. 9 tahun 1998.
1. Di lingkungan istana kepresidenan.
2. Tempat ibadah.
3. Instansi militer.
4. Rumah sakit.
5. Pelabuhan udara atau laut.
6. Ttasiun kereta api.
7. Terminal angkutan darat.
8. Dan obyek-obyek vital nasional.
9. Pada hari besar Nasional.
Sebelum melaksanakan demokrasi/pawai/rapat umum, maupun mimbar bebas terlebih dahulu wajib memberitahukan secara tertulis.Pemberitahuan tersebut disampaikan kepada Polri. Di mana polri yang dimaksud adalah satuan Polri terdepan dimana kegiatan penyampaian pendapat akan dilakukan apabila kegiatan dilaksanakan pada :
1. Kecamatan, pemberitahuan ditujukan kepada polsek setempat.
2. Kecamatan atau lebih dalam lingkukan kabupaten/kotamadya
3. Kabupaten/kotamadya atau lebih dalam 1 (satu) propinsi, pemberitahuan ditujukan kepada polri setempat.
4. Propinsi atau lebih, pemberitahuan ditujukan kepada Markas Besar Kepolisian Negara Republik Indonesia Pemberitahuan secara tertulis disampaikan oleh yang bersangkutan, pemimpin, atau pennggung jawab kelompok selambat-lambatnnya 3 × 24 jam sebelum kegiatan dimulai telah diterima oleh Polri setempat.
Surat pemberitahuan sebagaimana di maksud di atas memuat :
a. Maksud dan tujuan
b. Tempat, lokasi dan rute
c. Waktu dan lama
d. Bentuk
e. Penanggung jwab
f. Nama dan alamat organisasi kelompok atau perorangan
g. Alat peraga yang dipergunakan, dan atau
h. Jumlah peserta
Setiap sampai 100 orang pelaku atau peserta unjuk rasa atau demonstrasi dan pawai harus ada seorang sampai 5 orang penanggung jawab. Bnerdasarkan pasal 16 UU No. 9 tahun 1998 tentang kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum ”pelaku atau peserta pelaksanaan penyampaian pendapat di muka umum yang melakukan perbuatan melanggar hukum, dapat dikenakan sanksi hukum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dalam kemerdekaan terkandung dua makna yaitu kebebasan dan tanggung jawab. Karena itu kita harus menyeimbangkan antara kebebasan dan tanggung jawab. Ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam mengemukakan pendapat secara bebas dan bertanggung jawab, yaitu :
1. Pendapatnnya harus disertai argumentasi yang kuat dan masuk akal, sehingga tidak sembarang pendapat
2. Pendapat hendaknnya mewakili kepentingan orang banyak, sehingga memberi manfaat bagi kehidupan bersama.
3. Pendapatnnya dikemukakan dalam kerangka peraturan yang berlaku, sehingga tidak melanggar hukum.
4. Orang yang berpendapat septutnnya terbuka terhadap tanggapan, sehingga tercipta komunikasi sosial yang baik
5. Penyampaian pendapat hendaknnya dilandasi oleh keinginan untuk mengembangkan nilai-nilai keadilan, demokrasi dan kesejahteraan. Hak dan kewajiban dalam menyampaikan pendapat di muka umum. Setiap pendapat harus disampaikan sesuai dengan aturan yang berlaku, yaitu : melalui saluran yang resmi atau konstitusional.
Dalam pasal 1 Undang No. 9 tahun 1998 tentang kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum di jelaskan bahwa “ kemerdekaan menyampaikan pendapat” adalah hak setiap warga negara untuk menyampaikan pikirin dengan lisan dan tulisan dan sebagainnya. Secara bebas dan bertanggung jawab sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Untuk menjamin kebebasan menyampaikan pendapat, agar dilaksanakan dengan bertanggunmg jawab.
Maka dalam undang-undang No. 9 tahun 1998 tentang kemerdekaan menyampaikan pendapat diatur mengenai hak dan kewajiban yang harus dipenuhi bagi setiap masyarakat yang ingin menyampaikan pendapatnnya dan bagi pemerintah agar dapat memberikan perlindungan hukum kepada setiap masyarakat, agar terjaminnya hak menyampaikan pendapat.
Pasal 5 UU No. 9 tahun 1998 tentang kemrdekann menyampaikan pendapat di muka umum dinyatakan bahwa setiap Warga negara yang menyampaikan pendapat di muka umum berhak untuk :
a. Mengeluarkan pikiran secara bebas
b. Memperoleh perlindungan hukum
Yang dimaksud dengan “ mengeluarkan pikiran secara bebas” adalah mengeluarkan pendapat, pandangan, kehendak atau perasaan yang bebas dari tekanan fisik, psikis, atau pembatasan yang bertentangan dengan tujuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 Undang-undang No. 9 Tahun 1998 dimana tujuan pengaturan tentang kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum adalah :
1. Mewujudkan kebebasan yang bertanggung jawab sebagai salah satu pelaksanaan hak asasi manusia sesuai dengan pancasila dan Undang-undanmg dasar 1945
2. Mewujudkan perlindungan hukum yang konsisten dan berkesinambungan dalam menjamin kemerdekaan menyampaikan pendapat
3. Mewujudkan iklim yang kondusif bagi berkembangnnya partisipasi dan kreativitas setip warga negara sebagai perwujudan hak dan tanggung jawab dalam kehidupan berdemokrasi
4. Menempatkan tanggung jawab sosial dalam kehidupan bermasyarakat,berbangsa, dan bernegara, tanpa mengabaikan kepentingan perorangan atau kelompok. Yang dimaksud dengan “memperoleh perlindungan hukum” termasuk di dalamnnya jaminan keamanan.
Polri bertanggung jawab memberikan perlindungan keamanan terhadap pelaku atau peserta penyampaian pendapat di muka umum termasuk pengamanan tempat, lokasi, dan rute.
Kewajiban
Kewajiban yang harus diperhatikan bagi setiap Warga Negara Indonesia dalam menyampaikan pendapatnnya telah diatur dalam pasal 6 UU No. 9 Tahun 1998 tentang kemerdekaan menyampaikan pendapatnnya di muka umum bahwa “Warga Negara yang menyampaikan pendapat di muka umum berkewajiban dan bertanggung jawab untuk :
a. Menghormati hak-hak dan kebebasan orang lain
b. Menghormati aturan-aturan moral yang diakui umum
c. Menaati hukum dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku
d. Menjaga dan menghormati keamanan dan ketertiban umum, dan e. menjaga keutuhan persatuan dan kesatuan bangsa menghormati hak-hak dan kebebasan orang lain yang dimaksud adalah ikut memelihara dan menjaga hak dan kebebasan orang lain untuk hidup aman, tertib, dan damai.
Yang dimaksud dengan “menghormati aturan-aturan moral yang diakui umu” adalah mengindahkan norma agama, kesusilaan, dan kesopanan dalam kehidupan masyarakat. Menjaga dan menghormati keamanaan dan ketertiban umum yang dimaksud adalah perbuatan yang dapat mencegah timbulnnya bahaya bagi ketentraman dan keselamatan umum., baik yang menyangkut orang, barang maupun kesehatan.
Sedangkan yang dimaksud dengan “menjaga keutuhan persatuan dan kesatuan bangsa” adalah perbuatan yang dapat mencegah timbulnnya permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap suku, agama, ras, dan antar golongan dalam masyarakat.





BAB IV
PENUTUP
4.1. Simpulan
Dari uraian di atas dapat di simpulkan bahwa ada faktor yang menyebabkan perilaku anarkis dalam demonstrasi :
1. Sikap para demonstran yang mengaggap pendapat mereka paling benar dan harus di turuti.
2. Suasana panas, sesak dan penat akan membuat para demonstran cunderung mudah terpancing emosi, sedikit saja ada provokasi dari luar pastilah kerusahan akan terjadi.
3. Jumlah demonstran yang banyak membuat situasi sangat sulit untuk di kontrol dan di kendalikan.
4. Jumlah aparat juga lebih sedikit dari pada demonsran.
5. Aparat yang di kerahkan oleh pihak kepolisian kebanyakan adalah aparat muda yang baru lulus dari pendidikan kepolisiaan, mereka juga mempunyai tingkat emosi yang sangat tinggi, sehingga aparat juga mudah terpancing kemarahan oleh ulah para demonstran.
6. Solidaritas yang tinggi antara para anggota demonstran.
4.2. Saran
Hukum dibuat dalam rangka untuk menciptakan ketertibah dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, sebagai warga Negara yang baik kita semua harus patuh dan tunduk pada hukum yang berlaku, jangan jadikan hukum hanya sebagai wacana dan pajangan yang kehilangan fungsinya, kita telah melihat berbagai bukti peristiwa yang menunjukkan ketidak patuhan pada hukum pasti menimbulkan kekacauan dalam kehidupan, jangan biarkan ini terjadi agar eksistensi bangsa Indonesia tetap terjaga. Gunakan kebebasan yang kita miliki dengan bijak sesuai dengan amanat demokrasi.




DAFTAR PUSTAKA

Chalim, ibn, Asykuri, Dkk. 2003. Pendidikan kewarganegaraan. Majelis pendidikan tinggi, penelitian dan pengembangan (diktilitbang) pimpinan Pusat muhamadiah. Yogyakarta.
Moeljatno. 2007. Kitab undang-undang hukum pidana. Bumi angkasa. Jakarta.
Rosyada, Dede, Dkk. 2000. Demokrasi hak azasi manusia dan masyarakat madani. ICCE UIN. Jakarta.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1998. Tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat Di Muka Umum : Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan Kementerian Hukum dan Hak azasi manusia.
Octavianus, Fanny. 2009. Kerbau pun Ikut Demonstrasi 100 Hari. http://www.antaranews.com. edisi Kamis, 28 Januari 2010 di akses 26 Februari 2010
Ayyubi, Saladin. 2009 demo di purwokerto foto SBY-Boediono di robek. http://news.okezone.com edisi 28 januari 2010 . di akses 26 Februari 2010.
Mahyudin ,Edy. 2008. Prinsi-prinsip demokrasi pancasila. http://tugassekolahonline.blogspot.com/2008/10/prinsip-prinsip-demokrasi-pancasila.html diakses 26 Februari 2010.
Prasaja, Lanang.2005. makalah pendidikan kewarganegaraan. http://www.lprasaja.web.ugm.ac.id/files/MAKALAH%20PENDIDIKAN%20KEWARGANEGARAAN.doc diakses 26 Februari 2010.
Abdurrahman, Nur, Muhammad. 2010. Belasan mahasiswa bakar foto Sby – Boediono. detikNews. Makasar http://www.detiknews.com/read/2010/01/26/155701/1286420/10/belasan-mahasiswa-makassar-bakar-foto-sby-boedion diakses 28 januari 2010